Laman

Sabtu, 24 Desember 2011

Ringkasan

Tulisan ini adalah bunga rampai dari tema-tema pokok yang saya anggap penting di dalam paper Memikirkan Pikiran. Mungkin ini akan berguna seki­ranya Anda malas membaca keseluruhan isi paper itu, meskipun sa­ya lebih menganjurkan agar Anda membaca keseluruhan peper itu. 

BATASAN
Dalam naskah ini, saya hanya mengaju­kan model (meminjam istilah dalam riset) yang menurut saya Islami. Tentu yang benar adalah tetap Islam itu sendiri, sedangkan “keislaman pemikiran” saya patut selalu dipertanya­kan kembali, terutama oleh diri saya sendiri.

MENCARI JEJAK
Marilah kita lihat, apa saja yang kita lakukan dalam kese­harian. Tentu banyak hal, tetapi yang penting di antaranya ada­lah: merasa (qalbu), berpikir, bekerja, bergaul, dan berdialog/ber­bicara. Secara ringkas aktivitas-aktivitas itu dapat digambar­kan sebagai berikut:
Saya mengambil jalan pikiran sebagai berikut:

Setiap aktivitas/perilaku kita adalah ekspresi dari pikiran, dan pikiran adalah ekspresi dari qalbu
· Jadi, bagaimana kita bekerja, adalah gambaran bagaimana pi­kiran kita. Selanjutnya, bagaimana pikiran kita adalah gam­ba­ran bagaimana qalbu kita
· Oleh karena aktivitas-aktivitas itu berasal dari sumber yang sama (qal­bu), maka antar aktivitas itu sen­diri dapat saling menjadi tolok ukur. Mi­salnya, bagaimana kita bergaul dengan orang lain, dapat menggambarkan bagaimana kinerja kita dalam bekerja. Begitu seterusnya
· Ditarik lebih jauh, bagaimana kita memandang agama, begitu pulalah pola pikir dan ekspresi perilaku kita. Jadi, beragama adalah satu “hal” dengan bekerja, bergaul, dst. Dengan kata lain, kinerja Anda identik dengan agama yang Anda anut. Oleh karena itu saya mengatakan: “Kembalilah kepada agama Anda dengan kaffah (menyeluruh), apa pun agama Anda, dan yang mana pun Tuhan Anda. Mungkin ini agak membingungkan. Contoh berikut barangkali dapat memperjelas maksud saya.

KINERJA ANDA IDENTIK DENGAN AGAMA ANDA
Anda tentu mengenal Karl Marx bukan? Terlepas apakah kita setuju atau tidak, dialah si pen­cetus (kreator) gagasan sis­tem ekonomi komunisme. Orang macam manakah dia itu sebe­narnya, sehingga gagasannya itu ditelaah oleh orang seluruh dtnia, baik oleh kawan maupun lawan sampai detik ini?.
Dia adalah orang yang menolak kebenaran agama apa pun. Dia bilang: “Agama adalah opium masyarakat”. Lalu, apa­kah dia tidak beragama? Tidak demikian. Agamanya adalah ko­munis­me, tuhannya adalah rasio, buminya tempat dia mewujud­kan kekhalifahannya adalah humanisme (kaum buruh). Dia ada­lah seorang yang sangat “khusuk” dan sangat khikmat dalam beriba­dah kepada tuhannya. Sebegitu khusuknya, sampai keluarganya menjadi terlantar [1].
Dari cintanya yang menyeluruh (kaffah) terhadap agama­nya itulah, kemudian lahir kreasinya berupa teori ekonomi komunis itu. Per­hatikan, janji Tuhan telah sungguh-sungguh mewujud bukan? Maksusnya, karena dia “meminta” dunia, mentuhankan materi, maka diberilah ia dengan materi. Tentu kita yakin, wujud kreasi dari orang semacam Karl Marx akan berbeda dengan orang yang beragama beneran.
Ingin saya tekankan, bahwa hanya dengan cinta akan ada ke­tulusan. Dan hanya dengan ketulusan akan ada kreasi. Ya, karena kreasi itu tidak membutuhkan biaya. Kreasi hanya membutuhkan cinta dan ketulusan (KREASI ITU TIDAK MEMBUTUHKAN BIAYA. KREASI HANYA MEMBU­TUHKAN CINTA DAN KETULUSAN)!. Kalau Anda be­kerja pe­nuh pamrih, maka kerja Anda hanya akan menumpuk-numpuk barang bekas/palsu, lalu Anda jual dengan harga barang baru/asli.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Menurut pandangan saya, kita ini serba tanggung. Saya kira ini sudah cukup jelas seperti yang saya uraikan dalam tu­lisan-tulisan yang lalu. Tentu saja kemudian Tuhan lebih suka kepada orang yang konsekuen dan konsisten. Dengan alasan yang sama, itulah sebabnya mengapa Barat itu maju!. Karena mereka khusuk, sedangkan kita separuh material/rasionalis se­paruh sisanya agamis (Islam?). Dengan agamanya itu seolah mereka (orang Barat) berdoa: “Tuhanku, aku minta dunia”, lalu diberilah dunia kepada orang Barat. “Siapa yang mengharapkan dunia, ia akan memperolehnya. Siapa yang mengharapkan akhirat, ia akan memperolehnya…..”, begitu janji Tuhan dalam Al-Qur’an.

KREATIVITAS
Yang saya maksud kreativitas adalah kemampuan sese­orang untuk menciptakan sesuatu yang belum diciptakan orang lain sebelumnya. Kadar penciptaannya itu sendiri sangat banyak tingkat­an­nya. Contoh kreasi di antara lain:
· Terciptanya teknologi yang lebih efisien
· Terciptanya suasana kerja yang riang dan produktif
· Terciptanya solusi dari suatu masalah, dst.
Tentu, keseluruhannya itu masih dalam bingkai manfaat dan moralitas. Dengan kata lain, kalau kreasi itu tidak bermanfaat atau melang­gar norma hukum, bukan lagi kreasi namanya. Se­kurangnya, bu­kan kreasi seperti yang saya maksud dalam paper ini.

LEBIH JAUH TENTANG CINTA DAN KREATIVITAS
Bagaimana cinta dapat membuka tabir petunjuk bagi lahirnya kreativitas? Barangkali, kita dapat mengambil hikmah dari jalinan cinta[2] antara dua sejoli.
· Seseorang yang jaruh cinta, salah satu gejalanya adalah: tiba-tiba saja dia menjadi puitis bak seorang pujangga. Kata-kata yang sebelumnya tak terbayangkan, seketika itu me­ngalir begitu saja tanpa diundang. Ya, tiba-tiba dia menjadi kreatif. Dalam hal ini adalah kreatif dalam menyusun rayuan
· Kekasih yang Anda cintai, tanpa Anda minta, akan membuka seluruh “ra­hasianya” yang paling tersembunyi sekali pun. Begitulah kira-kira “rahasia” yang berupa kreasi itu muncul dari objek yang Anda “cintai”, karena dengan cinta nyaris tak ada lagi jarak ruang dan waktu antara Anda dengan kekasih Anda.
Selanjutnya saya hanya bisa mengajak, mari kita cintai manusia yang manapun, mari kita cintai pekerjaan kita, kita cintai hidup, dst. Tentu cinta itu kita bangun di atas cinta kepada-Nya. Lalu, kita lihat apa yang terjadi!

ILMU
Ilmu adalah salah satu perbendaharaan rahmat dari Yang Maha Gaib, se­hingga ilmu itu juga gaib. Oleh karena itu ia tidak bisa dikejar di manapun di dunia ini. Tak ada kepastian, bahwa jika Anda ber­sekolah, lalu Anda menjadi berilmu. Seandainya daya ingat Anda kuat, maka Anda hanya berpengetahuan. Tetapi, dalam arti ini, komputer jauh lebih hebat dari sekadar kemampuan menghafal manusia.
Ingin saya tekankan, bahwa buku itu residunya ilmu, dan hafalan itu residunya pikiran.
· Setiap Rahmat-Nya, termasuk ilmu, selalu tak terhitung, selalu tersembunyi dari jangkauan manusia. Hal ini agar manusia ti­dak bisa mempere­butkannya. Hanya orang-orang bodoh dan menyimpan itikad jahat sajalah yang (misalnya) memperebutkan kesem­patan belajar itu. Karena dia tidak mempunyai ilmu agar dihampiri (dihampiri) oleh ilmu. Ya, ilmulah yang mene­mui manusia, dan bukan sebaliknya. Yang Maha Berilmulah yang meletakkan ilmu itu di dada Anda, dan bukan daya upaya Anda untuk menemukannya.
· Seperti Rahmat-Nya yang tak terhitung, ilmu itu juga tak ter­hitung jenis, macam dan ragamnya, dan asal-muasal dari mana Anda dikehendaki-Nya memperoleh ilmu itu
· Maka tak ada alasan untuk berkecil hati bagi Anda yang belum memperoleh kesempatan tugas belajar. Tinggal sekarang Anda bertanya kepada diri sendiri, “Mengapa saya menginginkan ilmu?” Mari saya tunjukkan jawabannya yang benar, yaitu: “Untuk meng-ALAMI (experience) Kekuasaan-Nya, dan bukan sekadar mengalaminya (experiment), sampai akhirnya kita (seolah) melihat dengan Penglihatan-Nya, berbicara dengan Lisan-Nya, berjalan dengan Kaki-Nya, bekerja dengan Tangan-Nya”
· Karena kita mempersempit makna Rahmat-Nya, bahwa ilmu itu ada di buku-buku, sekolah-sekolah, dalam hafalan, maka sem­pit pulalah pikiran kita. Makin banyak kita membaca, makin tinggi title kita, makin piciklah pikiran kita. Lalu, pikiran men­jadi beku, dan membatu. Apalah yang dapat kita harapkan dari sebongkah batu?!

Pemikir yang baik secara garis besar ada dua macam:
a.   Bersesuaian[3] dengan “gerakan” di luar. Jelasnya, cobalah Anda mem­bayangkan sesuatu yang akan terjadi, misalnya suatu tema penelitian. Lalu ikutilah perkembangan tema-tema penelitian, kalau mungkin di dunia internasional[4]. Kalau ternyata ramalan Anda itu benar, maka Anda adalah pemikir yang baik. Selamat!
b.   Menciptakan “gerakan” di luar. Ini adalah kreasi tingkat ting­gi dan sangat jarang terjadi. Contohnya adalah pada kasus kreasi Karl Marx di atas.
Sebaliknya, pemikir yang buruk, tentu saja adalah mereka yang pikirannya hanya membeo, menjiplak, menyesuaikan diri dengan “gerakan” di luar dirinya, atau sama sekali didekte oleh faktor eksternal itu. Dalam lingkungan kerja, suasana yang mendorong orang menjadi pemikir yang buruk adalah dalam lingkungan jabatan structural. Biasanya para pejabat itu diperintah untuk sepenuhnya menyesuaikan diri dengan instruksi atau peraturan. Bagi kita, terutama para pejabat itu, menyesuaikan diri itu tampak normal, tetapi mereka lalu lupa, bahwa:


  • Mereka adalah manusia yang dibekali dengan potensi masing-masing yang wajib dikembangkannya untuk kemaslahatan, tanpa harus diartikan melanggar peraturan dan kepatutan
  • Peraturan, bagaimana pun, pasti mengandung kelemahan yang me­lekat pada pembuatnya, yaitu manusia itu juga. Oleh karena itu, pada tahap pelaksanaan peraturan itu masih diperlukan improvisasi tertentu.

PENUTUP
Keseluruhan pembicaraan kita pada tulisan ini sebe­nar­nya pembicaraan tentang cinta, tentang Cinta-Nya ke­pada makhluk-Nya, dan bagaimana kita menjadi khalifah-Nya sebaik-baiknya, semirip-miripnya dengan Dia. Ini adalah soal bagai­mana kita menjadi manusia biasa.
Marilah kita tumbuhkan cinta kepada manusia seluruh­nya, kepada pekerjaan, kepada air mata, burung yang berkicau, gunung-gunung, mereka yang terbuang, mereka yang berkuasa, maling yang digebuki, dst. Karena Tuhan juga begitu kok! Me­ngapa kita tidak?! Cobalah Anda perhatikan semua itu dengan jiwa polos, tanpa meng­ha­kimi, tanpa memberi cap. Setelah itu, sekarang jelaskan kepada saya, adakah Anda menemukan cinta di sana, di dada Anda? Tentu Anda tidak akan menemukan ke­terangan semacam ini di buku mana pun di dunia. Karena se­mua itu sebenarnya ada di dalam lembar-lembar qalbu Anda yang selama ini diabaikan, tetapi justru terus-menerus Anda suapi dengan kepuasan nafsu.
Mari kita kembangkan berpikir dengan kehadiran Nama-Nya di qalbu. Karena Dia Yang Maha Cinta, Dia pula yang Maha Pen­cipta. Maka Insya Allah, pikiran kita akan merefleksikan cinta dan penciptaan, dan bukan kebencian dan penjiplakan”.
Wallahu’alam bissawab                          
 SH020503



[1] Konon, 2 orang putranya meninggal karena sakit dan dia tidak mampu membayar ongkos dokter. Tentu saya tidak mengajak Anda untuk mentelantarkan keluarga. Saya hanya ingin menunjukkan begitu khusuknya Marx dalam “beribadah” kepada tuhannya.
[2] Anda yang belum pernah mengalami pacaran, contoh ini tidak berguna
[3]  Bukan disesuaikan
[4] Anda bisa mengikutinya lewat internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar