Laman

Sabtu, 11 Februari 2012

08 - INTERMEZZO 2: Garis bengkok


            Di bawah ini saya menggambar sebuah lingkaran, lalu persis bersinggungan pada salah satu sisinya saya bikin garis “sedikit bengkok (lengkung)”. Cobalah Anda amati baik-baik garis itu beberapa detik sambil membisikkan kalimat: “Ya, garis itu bengkok, garis itu bengkok” sebanyak yang Anda suka.



            Sekarang dengarkan keterangan saya:
1.   Sayang sekali, saya telah membohongi Anda. Sebenarnya garis itu lurus belaka. Kalau tidak percaya, coba saja Anda ambil penggaris yang masih baik, lalu buktikan! Ya, garis itu lurus!.
2.   Mata Anda telah mengelabui Anda, didukung bisikan Anda yang menimbulkan efek hipnotis, sehingga qalbu Anda yakin: “Ya, garis itu bengkok”. Begitulah sebuah tipuan terjadi dari dalam diri Anda sendiri, di dalam diri kita semua!
3.   Dengan cara yang sama, pikiran juga sering menipu dalam membentuk perilaku kita sehari-hari. Dan ketika pikiran kita biarkan terus mengoceh, mencari bukti-bukti pembenaran perilaku diri kita sendiri, makin jauhlah kita dari kebenaran, makin jauh dari fakta. Tentu saja kita tak menyadari hal ini.
4.   Hikmah yang diperluas dari peristiwa tipu-menipu itu adalah: (a) perilaku yang lurus, bisa saja tampak bengkoj, sebaliknya, tentu saja (b) perilaku yang bengkok pun dapat terlihat lurus.
5.   Dalam kasus ini, pikiran mustahil dapat membantu Anda untuk meluruskan “pandangan” Anda itu. Bahwa kemudian Anda mengambil penggaris untuk menguji lurus-bengkoknya garis itu, semata karena “petunjuk” saya bukan? Sebelum saya memberi “petunjuk” tadi, Anda adalah seorang yang tidak tahu bahwa Anda tidak tahu. Itulah gunanya orang lain!
Oleh karena itulah, saya berani bilang, bahwa membangun jarak dan kebencian dengan orang lain, atas nama apa pun, adalah termasuk kejahatan kemanusiaan terbesar. Sebab, hal itu akan menutup hadirnya kebenaran dan berkahnya, yang mustahil dapat kita duga dari mulut siapa kebenaran itu menghampiri kita. Lalu dimulailah satu proses reduksi kemanusiaan kita. Seiring dengan waktu, mulailah proses sebal, kebal dan akhirnya bebal terhadap kebenaran (summun bukun umyun fahum layarji’un, menurut versi Al-Qur’an).

07 - LEBIH JAUH TENTANG STATUS PIKIRAN: Berpikir Holistik


Telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa pikiran cenderung analitis, memilah-milah, separa­tis, friktif, parsial. Sebaliknya, ia tidak mampu mencerap objek secara tuntas. Untuk itu marilah kita perhatikan Gambar 4, yang akan menggambarkan bagaimana pikiran kita berperilaku.

Gambar 4. Bayangan sebagai objek pikiran

1.   Hakikat sesuatu objek pikiran selalu bersifat tersembunyi, atau setidaknya tidak akan pernah tuntas dicerap secara menyeluruh oleh pikiran. Ya, selalu saja ada bagian yang tidak kita mengerti. Bahkan kata Imam Syafiei: “Makin banyak yang aku ketahui, makin sadarlah saya bahwa jauh lebih banyak lagi yang belum saya ketahui”. Kalau kita mengenal istilah metodologi, maka sebenarnya hanya berarti “cara logis untuk mendekati objek”, dan bukan cara mencerap objek secara tuntas
2.   Dalam konteks praktis, biasanya kita lalu membagi tugas kepada beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu misalnya. Sekarang akan saya tunjukkan, bahwa model “membagi tugas” seperti ini mengandung kelemahan atau bahaya, kalau kita tidak memahami karakter pemikiran di balik pembagian tugas itu
3.   Kembali ke gambar, apa yang kita pikirkan tentang suatu objek sebenarnya hanya “bayangannya saja”. Perhatikan, orang yang kebetulan pada posisi A akan mengatakan bahwa hakikat objek yang diamatinya adalah sebuah BOLA, sedangkan menurut orang di posisi B adalah sebuah BALOK. Padahal kita tahu bahwa hakikat objek pada gambar adalah tabung. Mari saya peragakan letak kelemahannya dengan logika matematika sederhana berikut ini:
TABUNG = BOLA + BALOK…..(?), atau BOLA + BALOK = TABUNG…..(?). Jadi kalau pikiran kedua orang itu disatukan ternyata tidak sama dengan hakikat objek itu bukan?
4.   Oleh karena pikiran tidak akan pernah mampu mencerap hakikat objek secara tuntas, maka berarti pikiran tidak akan pernah mampu berbicara perihal KEBENARAN. Pikiran hanya mampu berbicara perihal KEBETULAN. Mengambil hikmah dari gambar di atas, maka “KEBETULAN + KEBETULAN ¹ KEBENARAN” bukan? Artinya, kita tidak bisa menemukan kebenaran dengan mengumpulkan kebetulan-kebetulan.
5.   Dengan kata lain, pikiran tidak mampu melakukan VALUASI (penilaian salah-benar), pikiran hanya mampu melakukan EVALUASI (menyatakan fakta-fakta parsial).

Mungkin Anda masih agak bingung. Jangan khawatir, saya juga bingung kok. Mari kita ambil contoh lain berikut ini.
GAJAH itu haruslah sama dengan GAJAH bukan? Tetapi, sadarkah Anda bahwa jalan pikiran kita sehari-hari tidak demikian. Jalan pikiran kita mengatakan bahwa gajah itu = bulat-panjang (kaki) + pipih-lebar (kuping) + berbulu (kulit) + ...... + n.
Kalau unsur-unsur itu dijumlahkan, akankah sama dengan gajah? Pasti,......tidak bukan!? Memang, air (H2O) itu sama dengan H2 + O2. Tetapi kalau Anda haus, apakah Anda minum H2  ditambah O2? Masih bingung?. Mari kita lihat gambaran lain.
Misalnya, suatu penelitian menghendaki Anda mengukur/mengamati karakter DAUN TANAMAN RAMBUTAN. Perhatikan kata daun, tanaman dan rambutan. Dan perhatikan pula, bagaimana suasana psikis Anda saat mengamatinya.
a.  Meskipun perhatian Anda tertuju hanya kepada DAUN, tetapi pasti Anda sadar sesadar-sadarnya bahwa DAUN itu hanyalah sebagian dari bagian-organis TANAMAN, dan TANAMAN itu adalah RAMBUTAN. Oleh karena daun itu hanya sebagian organ, maka pasti ia bersangkut-paut dengan bagian-bagian lain (akar, batang, dst.). Tetapi kita bisa membedakan bahwa daun bukanlah akar, dan akar bukanlah batang. Begitulah seterusnya kesadaran Anda dari saat ke saat selama melakukan pengamatan
b.  Oleh karena itu, praktik-praktik dalam ilmu ragawi biasanya bisa lebih dijamin kebenarannya daripada ilmu non-ragawi. Sehingga, bagian-bagian yang diamati secara terpisah pun, setelah disatukan akan membangun suatu sistem konsistensi logika yang utuh. Pada contoh di atas, rangkaiannya membentuk bangun TANAMAN RAMBUTAN. Suatu bangun yang membentuk sistem konsistensi logika yang utuh, itulah fakta namanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka berlaku prinsip umum :
a.  Keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagiannya, atau
b.  Keseluruhan sama dengan keseluruhan itu sendiri (gajah = gajah).

Keseluruhan peristiwa pada contoh kasus terakhir itulah bentuk konkrit dan tuntas cara berpikir yang benar, cara berpikir holistic, menyeluruh. Hanya saja dalam hal ini menyangkut soal yang sempit, yaitu proses mental yang terjadi saat pengamatan daun rambutan.

06 - INTERMEZZO 1: Berpikir terbalik


Berikut saya akan sajikan ilustrasi, bagaimana memori/hafalan yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi perilaku kita, justru hanya memenjara kita dan menyediakan jalan buntu dalam pemecahan persoalan.


KASUS 1.
Menentukan kerikil hitam atau putih

Seorang Bapak dari keluarga miskin yang mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik, terlilit hutang tanpa ada kemungkinan dia mampu membayar kembali hutangnya itu beserta bunganya. Pada jaman itu, seorang rentenir dapat membuat keputusan apa saja kepada orang yang tidak mampu mambayar hutangnya.
Sore itu matahari mulai condong ke barat, saat sang rentenir mendatangi rumah si Bapak miskin itu. Lalu dia mengemukakan “niat baiknya”, menawarkan jalan ke luar kepada si Bapak miskin.
            “Dengan keadaan Anda ini, bagaimana kalau kita mengadu nasib saja. Siapa tahu Anda beruntung hari ini”, kata si rentenir membuka pembicaraan.
            “Maksud Anda?”, tanya si Bapak miskin, pendek.
            “Mari kita undi saja nasib kita. Di taman kota sana, ada bagian hamparan yang ditaburi kerikil hitam dan putih. Nah, aku akan mengambil satu kerikil hitam dan satu kerikil putih, lalu akan masukkan ke dalam kantong kain ini”, sambil dia menunjukkan kantong kain yang sengaja dibawanya dari rumah.
“Agar adil, anak gadis Anda inilah yang mengocok kantong tadi, sampai ada salah satu kerikil yang keluar dari dalam kantong. Jika kerikil putih yang keluar dari dalam kantong, maka Anda beruntung. Seluruh hutang beserta bunganya saya anggap lunas. Tetapi jika kerikil hitam yang keluar, maka anak gadis Anda saya ambil sebagai ganti hutang Anda”.
            Singkat cerita, si Bapak miskin tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tawaran si rentenir. “Ya, siapa tahu keburuntungan berpihak kepadaku hari ini”, bisiknya dalam hati.
            Maka pergilah mereka bertiga ke taman kota dan menuju ke sehamparan kerikil hitam-putih yang menjadi penghias taman itu. Mulailah si rentenir mengambil dua butir kerikil, persis di depan kakinya. Karena begitu tegangnya, si anak gadis berkonsentrasi terhadap setiap gerakan yang dilakukan si rentenir. Alangkah terkejutnya dia ketika dilihatnya bahwa si rentenir itu curang, karena kerikil yang diambilnya itu ternyata kedua-duanya berwarna hitam. “Sudah menjadi nasibnyakah menjadi “piaraan” si rentenir?”, pikirnya.
Setelah kedua kerikil dimasukkan ke dalam kantong, diserahkannya kantong itu kepada si anak gadis.

Seandainya Anda ditimpa masalah seperti itu, apakah gerangan yang terbayang di benak Anda selain membayangkan nasib buruk Anda? Ya, bukankah kerikil yang akan keluar saat dikocok itu pasti kerikil hitam?. Bahkan mungkin, kerikil hitam itu meloncat-loncat di pelupuk mata Anda sejak saat sebelum kantong dikocok.
Bagaimana jalan ke luarnya, mari kita ikuti kisah ini lebih lanjut.

Sesaat sebelum anak gadis itu mengocok kantong yang berisi kedua kerikil “hitam dan putih”, tiba-tiba dia mengulum senyum. Rupanya sudah diperolehnya akal agar dia bisa ke luar dari masalah ini. Apakah si gadis akan menyulap kerikil hitam menjadi putih?
Dengan kocokan yang tampak tergesa-gesa, keluarlah salah satu kerikil dari dalam kantong. Dan…….hup, kerikil itu lepas, gagal ditangkap oleh tangan si anak gadis itu, sehingga jatuh berbaur dengan kerikil hitam-putih di taman itu.
Bagi si Bapak miskin dan rentenir itu, tentu sekarang timbul problem, kerikil berwarna apakah yang telah jatuh tadi? Ya, begitulah “kebiasaan” memenjarakan pikiran kita. Pastilah kita juga akan bertanya: “Kerikil berwarna apakah yang telah jatuh tadi?, seperti si rentenir yang penasaran itu.
            “Menentukan warna kerikil yang jatuh dalam undian tadi, sangatlah mudah Pak”, kata si gadis mencairkan keadaan.
“Meskipun kerikil tadi sudah jatuh sehingga berbaur dengan kerikil-kerikil lain di taman ini, tetapi kita bisa memastikan warna kerikil yang jatuh dengan melihat kerikil yang tersisa di dalam kantong ini. Kalau kerikil yang di dalam kantong ini berwarna hitam, berarti kerikil yang jatuh tadi berwarna putih. Sebaliknya, kalau kerikil yang tersisa di dalam kantong ini berwarna putih, berarti kerikil yang jatuh tadi berwarna hitam. Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka sejak saat ini, saya menjadi milik Bapak”, katanya sedikit menantang.
            Ya, tentu saja kerikil yang tersisa di dalam kantong itu berwarna hitam. Artinya, kerikil yang jatuh tadi berwarna “putih” bukan?


KASUS 2.
Menentukan bagian pesawat yang harus diperkuat dengan plat baja

            Konon, pada saat sedang berkecamuknya perang dunia kedua, Amerika banyak sekali kehilangan pesawat terbangnya karena ditembak jatuh oleh musuh. Diputuskan, bahwa badan pesawat harus diperkuat dengan plat baja. Problemnya, kalau seluruh badan pesawat dilapisi plat baja, maka beban pesawat menjadi terlalu berat. Oleh karena itu, hanya bagian tertentu yang paling rawan sajalah yang diperkuat dengan plat baja. Untuk menentukan bagian badan pesawat yang akan diperkuat tersebut, diundanglah seorang pakar statistika.
            Mulailah si pakar statistik itu bekerja. Dia membagi tubuh pesawat menjadi 4 bagian, yaitu bagian depan, lambung, ekor dan sayap. Setiap pesawat yang kembali ke pangkalan setelah bertempur, dihitungnya jumlah lubang pada tubuh pesawat yang diakibatkan oleh peluru musuh. Setelah kira-kira seminggu lamanya si ahli statistika itu mencatat data itu, diketahui bahwa:
a.   Rata-rata pesawat yang selamat kembali kepangkalan 60–70%
b.   Dari jumlah yang selamat itu, 95% babak belur pada bagian sayap, lambung, dan ekor, sedangkan sisanya (5%) babak belur pada bagian depan pesawat
Artinya, peluang tertembaknya bagian depan pesawat itu sangat kecil bukan?
            Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut, si ahli statistika itu lalu mengajukan rekomendasi teknis kepada Departemen Pertahanan. Dia menyatakan: “Bagian pesawat yang sebaiknya diperkuat dengan plat baja adalah bagian depan”.
            Anehnya, kementerian pertahanan Amerika tidak heran dengan kesimpulan dan rekomendasi si ahli statistika itu. Bahkan pihak departemen langsung menyetujui rekomendasi itu. Dan Amerika pun memperoleh kemenangannya.
            Bagi kita tentunya aneh, kok bagian yang paling sedikit peluangnya terkena peluru justru yang harus diperkuat?.
Tentu saja kementerian pertahanan Amerika itu tidak heran, karena mereka sudah diberi tahu alasannya oleh si ahli statistika tadi. Sedangkan Anda kan belum saya beri tahu alasannya!? Cobalah berpikir terbalik, dan Anda akan menemukan alasannya.