Berikut
saya akan sajikan ilustrasi, bagaimana memori/hafalan yang kemudian menjadi
kebiasaan dan akhirnya menjadi perilaku kita, justru hanya memenjara kita dan
menyediakan jalan buntu dalam pemecahan persoalan.
KASUS 1.
Menentukan kerikil hitam atau putih
Seorang Bapak dari
keluarga miskin yang mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik, terlilit
hutang tanpa ada kemungkinan dia mampu membayar kembali hutangnya itu beserta
bunganya. Pada jaman itu, seorang rentenir dapat membuat keputusan apa saja
kepada orang yang tidak mampu mambayar hutangnya.
Sore itu matahari mulai
condong ke barat, saat sang rentenir mendatangi rumah si Bapak miskin itu. Lalu
dia mengemukakan “niat baiknya”, menawarkan jalan ke luar kepada si Bapak
miskin.
“Dengan
keadaan Anda ini, bagaimana kalau kita mengadu nasib saja. Siapa tahu Anda
beruntung hari ini”, kata si rentenir membuka pembicaraan.
“Maksud
Anda?”, tanya si Bapak miskin, pendek.
“Mari
kita undi saja nasib kita. Di taman kota sana, ada bagian hamparan yang
ditaburi kerikil hitam dan putih. Nah, aku akan mengambil satu kerikil hitam
dan satu kerikil putih, lalu akan masukkan ke dalam kantong kain ini”, sambil
dia menunjukkan kantong kain yang sengaja dibawanya dari rumah.
“Agar adil, anak gadis
Anda inilah yang mengocok kantong tadi, sampai ada salah satu kerikil yang
keluar dari dalam kantong. Jika kerikil putih yang keluar dari dalam kantong,
maka Anda beruntung. Seluruh hutang beserta bunganya saya anggap lunas. Tetapi
jika kerikil hitam yang keluar, maka anak gadis Anda saya ambil sebagai ganti
hutang Anda”.
Singkat
cerita, si Bapak miskin tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tawaran
si rentenir. “Ya, siapa tahu keburuntungan berpihak kepadaku hari ini”,
bisiknya dalam hati.
Maka
pergilah mereka bertiga ke taman kota dan menuju ke sehamparan kerikil
hitam-putih yang menjadi penghias taman itu. Mulailah si rentenir mengambil dua
butir kerikil, persis di depan kakinya. Karena begitu tegangnya, si anak gadis
berkonsentrasi terhadap setiap gerakan yang dilakukan si rentenir. Alangkah
terkejutnya dia ketika dilihatnya bahwa si rentenir itu curang, karena kerikil
yang diambilnya itu ternyata kedua-duanya berwarna hitam. “Sudah menjadi
nasibnyakah menjadi “piaraan” si rentenir?”, pikirnya.
Setelah kedua kerikil
dimasukkan ke dalam kantong, diserahkannya kantong itu kepada si anak gadis.
Seandainya Anda ditimpa
masalah seperti itu, apakah gerangan yang terbayang di benak Anda selain
membayangkan nasib buruk Anda? Ya, bukankah kerikil yang akan keluar saat
dikocok itu pasti kerikil hitam?. Bahkan mungkin, kerikil hitam itu
meloncat-loncat di pelupuk mata Anda sejak saat sebelum kantong dikocok.
Bagaimana jalan ke
luarnya, mari kita ikuti kisah ini lebih lanjut.
Sesaat sebelum anak
gadis itu mengocok kantong yang berisi kedua kerikil “hitam dan putih”,
tiba-tiba dia mengulum senyum. Rupanya sudah diperolehnya akal agar dia bisa ke
luar dari masalah ini. Apakah si gadis akan menyulap kerikil hitam menjadi
putih?
Dengan kocokan yang
tampak tergesa-gesa, keluarlah salah satu kerikil dari dalam kantong.
Dan…….hup, kerikil itu lepas, gagal ditangkap oleh tangan si anak gadis itu,
sehingga jatuh berbaur dengan kerikil hitam-putih di taman itu.
Bagi si Bapak miskin dan
rentenir itu, tentu sekarang timbul problem, kerikil berwarna apakah yang telah
jatuh tadi? Ya, begitulah “kebiasaan” memenjarakan pikiran kita. Pastilah kita
juga akan bertanya: “Kerikil berwarna apakah yang telah jatuh tadi?, seperti si rentenir
yang penasaran itu.
“Menentukan
warna kerikil yang jatuh dalam undian tadi, sangatlah mudah Pak”, kata si gadis
mencairkan keadaan.
“Meskipun kerikil tadi
sudah jatuh sehingga berbaur dengan kerikil-kerikil lain di taman ini, tetapi
kita bisa memastikan warna kerikil yang jatuh dengan melihat kerikil yang
tersisa di dalam kantong ini. Kalau kerikil yang di dalam kantong ini berwarna
hitam, berarti kerikil yang jatuh tadi berwarna putih. Sebaliknya, kalau
kerikil yang tersisa di dalam kantong ini berwarna putih, berarti kerikil yang
jatuh tadi berwarna hitam. Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka sejak
saat ini, saya menjadi milik Bapak”, katanya sedikit menantang.
Ya,
tentu saja kerikil yang tersisa di dalam kantong itu berwarna hitam. Artinya,
kerikil yang jatuh tadi berwarna “putih” bukan?
KASUS 2.
Menentukan bagian pesawat yang harus
diperkuat dengan plat baja
Konon,
pada saat sedang berkecamuknya perang dunia kedua, Amerika banyak sekali
kehilangan pesawat terbangnya karena ditembak jatuh oleh musuh. Diputuskan,
bahwa badan pesawat harus diperkuat dengan plat baja. Problemnya, kalau seluruh
badan pesawat dilapisi plat baja, maka beban pesawat menjadi terlalu berat.
Oleh karena itu, hanya bagian tertentu yang paling rawan sajalah yang diperkuat
dengan plat baja. Untuk menentukan bagian badan pesawat yang akan diperkuat
tersebut, diundanglah seorang pakar statistika.
Mulailah
si pakar statistik itu bekerja. Dia membagi tubuh pesawat menjadi 4 bagian,
yaitu bagian depan, lambung, ekor dan sayap. Setiap pesawat yang kembali ke
pangkalan setelah bertempur, dihitungnya jumlah lubang pada tubuh pesawat yang
diakibatkan oleh peluru musuh. Setelah kira-kira seminggu lamanya si ahli
statistika itu mencatat data itu, diketahui bahwa:
a. Rata-rata pesawat yang
selamat kembali kepangkalan 60–70%
b. Dari jumlah yang selamat
itu, 95%
babak belur pada bagian sayap, lambung, dan ekor, sedangkan sisanya (5%) babak belur
pada bagian depan pesawat
Artinya, peluang tertembaknya bagian depan pesawat
itu sangat kecil bukan?
Berdasarkan
hasil penelitiannya tersebut, si ahli statistika itu lalu mengajukan
rekomendasi teknis kepada Departemen Pertahanan. Dia menyatakan: “Bagian
pesawat yang sebaiknya diperkuat dengan plat baja adalah bagian depan”.
Anehnya,
kementerian pertahanan Amerika tidak heran dengan kesimpulan dan rekomendasi si
ahli statistika itu. Bahkan pihak departemen langsung menyetujui rekomendasi
itu. Dan Amerika pun memperoleh kemenangannya.
Bagi
kita tentunya aneh, kok bagian yang paling sedikit peluangnya terkena
peluru justru yang harus diperkuat?.
Tentu saja kementerian
pertahanan Amerika itu tidak heran, karena mereka sudah diberi tahu alasannya
oleh si ahli statistika tadi. Sedangkan Anda kan belum saya beri tahu
alasannya!? Cobalah berpikir terbalik, dan Anda akan menemukan alasannya.