Laman

Kamis, 09 Februari 2012

05 - STATUS PIKIRAN: Berpikir yang seharusnya



Ketika tujuan telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas sudah tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju tujuan?
…masih ada satu hal yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu
…berpikir yang berpikir adalah hanya seba­gian dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada saat kita berpikir, sesungguh­nya disitu tengah berlangsung pula aktivitas qalbu dan (fisiologi) tubuh
            Dari segi ilmu tubuh manusia, khususnya kedokteran, fungsi pikiran, dalam hal ini otak, telah banyak diketahui, yakni sumber penggerak organ tubuh, baik yang kita gerakkan secara sadar (berjalan, berbicara, mendengar, dst.) maupun yang bergerak secara tidak sadar (detak jantung, kedipan mata, gerak reflek, dst.). Namun sebenarnya fungsi otak itu sendiri masih diliputi oleh banyak misteri. Benarkah otak, atau pikiran yang membuat kita bergerak? Pertanyaan ini makin penting terutama untuk “gerakan” atau keputusan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikan, otakkah yang menyuruh kita “bergerak” marah, misalnya? Cobalah pikirkan, kalau Anda dicubit tentu sakit bukan? Lalu, rasa sakit itu apa? Dapatkah pikiran kita menjelaskannya?
            Ketika tujuan telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas sudah tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju tujuan? Ini juga misteri. “Tidakkah Anda memikirkannya?”, kata kitab suci. Maka ijinkanlah saya meloncat langsung kepada jawabannya, “Ya, masih ada satu hal yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu”. Saya katakan “meloncat” karena  saya tidak bisa membuktikan logikanya. Singkat kata, gerakan manusia berlangsung melalui proses: qalbu ® pikiran ® anggota badan. Dari sinilah kemudian saya sampai kepada ungkapan-ungkapan keraguan saya terhadap kinerja pikiran Anda: “Saya tidak yakin apakah ada di antara Anda yang benar-benar-benar bisa berpikir …….”.
Di sinilah letak persoalannya! Jadi, patut kita sadari, bahwa berpikir yang berpikir adalah tidak meninggalkan qalbu. Berpikir yang berpikir hanyalah sebagian dari satu proses yang rumit.
Sayangnya, qalbu hari ini, laksana anak tiri yang kita kucilkan di sudut-sudut kesadaran kita. Apa akibatnya? Mari saya kiaskan, misalnya qalbu itu Anda, pikiran dan tubuh adalah anggota keluarga Anda yang lain. Cobalah Anda rasakan, Anda itu ada, tetapi dianggap tidak ada atau dikucilkan oleh kedua anggota keluarga yang lain. Pastilah, cepat atau lambat, Anda akan membina diri menjadi perongrong bukan? Ya, qalbu itu tidak bisa ditiadakan. Ia adalah sesuatu yang bebas. Ia pula yang menampung persaksian ketika ruh ditiupkan ke dalam tubuh: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, firman Tuhan. Sang ruh menjawab: “Ya, aku bersaksi, Engkau Tuhanku”.
            Persoalan ini memang agak rumit, sehingga saya tidak begitu yakin apakah saya telah berhasil menjelaskannya dengan benar!? Saya harap, sekurangnya Anda sepakat dengan saya, bahwa qalbu atau ruh itu ada, disamping pikiran dan tubuh kita.
            Saya ingin menekankan sekali lagi, bahwa berpikir yang berpikir adalah hanya seba­gian dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada saat kita berpikir, sesungguhnya disitu tengah berlangsung pula aktivitas qalbu dan (fisiologi) tubuh. Maka membina atau mengasah pikiran, haruslah berarti mengasah qalbu pula. Mengasah pikiran dapat membuat “pandangan” kita menjadi tajam, dan mengasah qalbu dapat membuat “pandangan” kita menjadi peka[1]. Inilah sosok paripurna yang saya dambakan lahir dari salah seorang atau banyak orang di antara kita. Sosok yang bermental juara. Bukan sosok yang bermental pengemis, rendah diri dan tak berkarakter. Ya, kita memerlukan orang yang tajam dan peka sekaligus. Di lingkungan kita sudah terlalu banyak orang yang tajam pikirannya, tetapi tidak peka qalbunya. Maka kacaulah segala urusan. Dan hilanglah manfaat dari ilmu yang dimilikinya[2].
            Sekarang mari kita coba lihat bagaimana qalbu, pikiran dan tubuh kita berhubungan dan bekerja sama dalam membentuk perilaku kita (Gambar 1).



Saya anggap bahwa Gambar 1 telah secara jelas melukiskan bagaimana proses terbentuk­nya ekspresi perilaku manusia. Beberapa catatan masih perlu saya tambahkan dari gambar di atas, yaitu:
1.   Apa yang kita sebut qalbu pada umumnya tidak diakui sebagai pembentuk awal sebuah ekspresi atau kinerja perilaku kita. Sekurang-kurangnya, jarang sekali orang menyebut demikian. Qalbu selalu hanya dikaitkan dengan kegiatan pengajian agama di mushollah, surau atau masjid, dan tidak di lingkungan kerja yang memerlukan aktivitas pikiran dan/atau tubuh. Saya harap Anda sependapat dengan saya, bahwa inilah kesalah-pandangan yang paling fatal.
2.   Qalbu adalah bagian yang paling merdeka, bebas, tidak bisa dibentuk oleh apa pun, tetapi ia bisa disugesti (disarankan) oleh unsur di luarnya. Oleh karena itulah, ketika Anda melakukan hal yang melanggar moral misalnya, meskipun Anda berhasil mengajukan justifikasi yang paling rasional sekalipun, qalbu Anda mungkin akan tertidur, akan tetapi ia tetap meronta-ronta sambil berbisik: “Anda salah. Anda salah. Anda salah”. Memang bisikan itu bisa keras, tetapi juga bisa sangat halus. “Manusia menyaksikan sendiri kemungkaran­nya”, kata Al-Qur’an. Ya, manusia “menyaksikan” sendiri bisikan qalbunya. Dan manusia tak menghiraukannya.
3.   Dari gambar itu pula dilukiskan, bahwa pandangan konvensional, tidak akan membawa kita ke mana ke mana. Kita hanya akan berputar-putar tanpa kemajuan, tanpa hasil. Ya, karena kita terjebak di dalam lingkaran dunia alias lingkaran syetan. Sekarang Anda dapat membayangkan, apa artinya penjiplakan yang kita lakukan selama ini. Ya, berpusar di lingkaran syetan
4.   Pusaran yang baik adalah pusaran revolusi dan evolusi sekaligus, seperti halnya jagad raya berpusar. Begitu seterusnya, sehingga hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Seandainya hari ini sama saja dengan hari kemarin, sesungguhnya manusia sudah dalam keadaan merugi. Ya, tentu saja, pusaran jagad raya itu pun masih tetap mempunyai ciri terbatas. Ingatlah, bahwa segala pusaran makhluk dibatasi oleh Kemaha Besaran Sang Khalik
5.   Tak ada syarat lain dari pusaran ideal itu kecuali Petunjuk-Nya
6.   Dan oleh karena itu, satu-satunya saran dari tulisan ini adalah: KEMBALILAH KEPADA AGAMA (agama dalam arti luas) secara menyeluruh (kaffah). Tidak peduli apakah agama Anda itu atheisme, materialisme, rasionalisme, atau apa pun juga. Tidak penting apakah tuhan Anda itu nafsu, syetan gundul, demit gentayangan, iblis, atau tuhan bikinan pikiran Anda, ataukah Tuhan yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW. Selagi Anda kaffah, Anda akan memperoleh apa yang Anda idamkan. Maha Suci Dia, betapa Dia tidak pilih kasih, tidak seperti kita[3]. Bahkan orang yang durhaka sekalipun akan diloloskan keinginannya, karena “Agama-Ku ini untuk seluruh umat manusia”, firman-Nya. Kalau tidak demikian, kalau tidak kaffah, selamanya kita akan tetap pandai tetapi bodoh sekaligus, sholat tetapi korup, pekerja dan pemalas sekaligus, murah senyum tetapi jahat, sedikit karya banyak tuntutan. Tentu saja akan ada bedanya antara beragama bikinan nafsu kita sendiri dengan beragama bikinan Tuhan.

Disamping keterangan di atas, ada satu gejala yang akan lebih mudah dipahami kalau kita menggunakan model dalam peristiwa kimia sebagai berikut:
Q + P + T ¬¾® E, kemudian E + S ¾® H,
Dimana Q=qalbu, P=pikiran, T=tubuh, E=ekspresi, S=sarana, H=hasil.

7.   Jadi, Q + P + T menghasilkan E (karakter/kinerja). Atau bisa dibalik, E menggambarkan orang macam apakah gerangan yang menghasilkan E itu. Keterangan ini sejalan dengan tanda anak panah bolak-balik. Perhatikan persamaan kimia kedua yang menggunakan anak panah hanya satu arah. Kalau E + S akan menghasilkan H, tetapi H itu sendiri tetap hanya menggambarkan E dan bukan E + S.
8.   Ya, H adalah gambaran karakter E (personal/teamwork). Dalam keseharian pun kita mem­benarkan pernyataan bukan? Jelasnya, kalau seseorang itu menemukan teknologi misalnya, kita katakan, “Dia berprestasi”, dan bukan, “Dia dan alat-bahannya (sarana) berprestasi”.  Maka dua persamaan di atas dapat disubstitusikan dan disederhanakan menjadi: Q + P ¬¾® H. Ya, H menggambarkan apakah manusia yang menghasilkan H itu waras pikirannya dan sehat kalbunya!
9.  Dalam peristiwa kimia kita juga mengenal gejala terbentuknya residu (R), yaitu bagian yang hilang atau keluar dari sistem persamaan (Gambar 2).

Gambar 2. Gejala pembentukan residu dalam proses kimia mental dan aktivitas manusia

10. Adalah normal (Gambar 2–A), bahwa pada setiap aktivitas kita menghasilkan residu, yaitu hal-hal yang tidak diharapkan. Residu normal dimaksud adalah residu yang bisa ditolerir terutama jika residu itu tidak terlalu merusak, dan kalau merusak dapat segera diperbaiki. Kadang-kadang residu itu justru merupakan salah satu hal yang diharapkan. Misalnya saja adanya kritik pada suatu luaran yang kita hasilkan. Kita juga mengenal adanya residu yang justru diharapkan dalam statistika (e=eror=sisaan)
11. Perhatikan Gambar 2-B, ada gejala dimana sejak awal Q yang terlibat dalam proses adalah residu (Q’). Dengan sendirinya, biasanya P-nya pun residu (P’). Maka yang dihasilkan sudah tentu residu juga (H’), selain residu “normal” yang selalu akan dihasilkan oleh sebuah proses (R’)
12. Saya ingin memberikan contoh aktual mengenai Gambar 2-B, tetapi saya harap Anda siap mendengarkannya. Begini, saya pikir, kita ini selalu saja gagal sejak awal, sejak diskusi akan dimulai. Mengapa, karena qalbu yang kita bawa ke dalam forum diskusi adalah bagian residunya. Dengan sendirinya, pemikiran yang diajukan pun residu pula. Hasilnya? Ya residu!.
13. Saya menangis (tanpa suara), sesak dada saya, ketika residu H’ itu benar-benar makin men­colok mata. Saya tahu persis, ada di antara publikasi hasil penelitian kita yang hanya berkualitas residu ilmiah, alias sampah ilmiah (H’). Setelah ditelusuri ternyata penulisnya mengajukan alasan rasional yang residual pula (P’=umur fungsionalnya kritis, katanya). Maka ijinkan saya menyitir istilah Bapak Dr. Hidajat Nataatmadja, bahwa perilaku yang demikian pantas disebut PROSTITUSI ILMIAH (Q’). Di lingkungan Badan Litbang gejala prostitusi itu sebenarnya sudah pernah disinyalir. Tetapi itu semua, secara sosiologis, adalah kehendak kita bersama (kehendak kita bersama!). Ya, kitalah residu itu, saya dan Anda semua. Dan syetan pun tertawa.
14. Kalau saya bilang residual, maka tentu ada yang substansial. Berikut ini saya ajukan model graduasi substansi dari kinerja piranti yang kita punya (Gambar 3).


Saya harap Gambar 3 sudah cukup melukiskan unsur-unsur substansial yang kemudian menga­lami degradasi sehingga menjadi residual. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hal yang saya anggap penting.
a.   Pada hakikatnya, sejak awal manusia itu menyaksikan Tuhannya ketika di alam rahim. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. “Ya, kami bersaksi, Engkau Tuhanku”, jawab kita (Al-A’raf 172). Penyaksian inilah yang akan mengantarkan manusia ke jalan yang lurus, jalannya para ulama, para orang berilmu. Dalam pengertian tertentu, Anda peneliti dapat juga disebut ulama. Sekurangnya sebagai ulamanya teknologi. Seperti ulama agama yang mengabdi kepada kemanusiaan, yaitu mengagamakan manusia, ulamanya teknologi seharusnya juga mengabdi kepada kemanusiaan. Ya, peneliti itu (kalau Anda belum tahu) pada hakikatnya mengabdi kepada manusiaan. Hanya karena alasan praktis saja kita mencukupkan diri pada batas nasionalisme. Sayangnya, justru sekarang kita dihadapkan kepada racun pahit yang akan menggiring kita menjadi semakin eksklusif, makin egois, individualis, yaitu dengan dikembangkannya paten[4]
b.   Marilah kita kembali ke pokok masalah. Membicarakan perihal ulama, saya jadi teringat dengan teman-teman peneliti yunior. Saya pernah bilang, “Anda adalah manusia biasa seutuhnya yang mempunyai tubuh, pikiran dan kalbu/hati, yang masing-masing mempunyai tuntutan kebutuhannya. Tuntutan kebutuhan yang wajar maupun yang dipaksakan, sering mereduksi keutuhan Anda sebagai manusia menjadi sekadar tubuh dan pikiran, bahkan kadang lebih sempit lagi. Dari reduksi itu terciptalah sosok yang bodoh dan pengecut seperti Anda (barangkali). Bukan bodoh dalam menghafal (menghafal!) referensi dan  juga bukan pengecut dalam urusan mencari nafkah. Bukan! Anda bodoh karena Anda lalai untuk membina kalbu Anda, kepekaan Anda untuk merasakan krisis dan kelemahan Anda”[5]
c.   Penyaksian Tuhan itulah yang akan melahirkan kreativitas. Beberapa keterangan menye­but­kan, bahwa kreasi itu muncul saat bersatunya objek dengan subjek. Ya, kreasi itu lahir saat kita “menyaksikan Sang Maha Kreatif”, saat mana dapat dikiaskan sebagai bertemunya objek (manusia) dengan tuhannya (Maha Subjek).
d.   Peniruan dan penjiplakan (D dan E) yang selama ini kita lakukan, tidak lain karena kita kufur atau bahkan menyekutukan-Nya. Maka wajar kalau kinerja tubuh (fisik) kita dapat dikategorikan malas, atau kelihatan bekerja, tetapi sesungguhnya tidak bekerja. Dengan alasan itulah saya pernah bertanya: “Ketika Anda bekerja, dapatkah Anda membedakan, apakah Anda sedang membangun ataukah sedang memupuk kehancuran?”.
e.   Menurut saya, kita wajib membina diri sehingga sekurangnya masuk ke dalam kategori C (qalbu=beriman, pikiran=memodifikasi, tubuh=bekerja pasif, semata karena disuruh, tanpa inisiatif). Meskipun tetap akan saya katakan, bahwa kita memerlukan lebih dari itu.
f.    Suasana yang kita bina bersama selama ini, bagi saya merupakan petunjuk yang sangat kuat bahwa ada yang tidak beres dengan qalbu kita. Maka kita tidak akan pernah ke mana-mana, tetap saja berkutat menangisi nasib, menjiplak, meniru, berebut tulang, dan tentu saja dengan sedikit rasa puas karena dapat melayani tuhan-tuhan bikinan pikiran kita. Ya, kita telah berhasil menciptakan NERAKA untuk diri kita sendiri. Naudzubillah.
g.   Maka seluruh buku yang Anda baca, hanya akan menjadi memori, barang hafalan belaka, tanpa membawa kemaslahatan. Dengan demikian dapat saya katakan, membaca adalah penyakit pikiran, dan menghafal adalah residu pikiran.

Setiap kali membicarakan suasana di lingkungan kita, saya memang cenderung ngelantur ke mana-mana. Betapa sulitnya mengajak Anda semua memasuki surga dunia dan menyongsong surga akhirat. Ya, karena saya tidak ingin masuk surga sendirian. Bagaimana tidak sulit, wong Anda menyak­sikan sendiri kok kemungkaran yang Anda lakukan (kata Al-Qur’an). Ini ngelantur lagi!? Baiklah kita cukupkan sekian saja bagian ini.


[1]     Peka bukan dalam arti mudah tersinggung, melainkan peka terhadap ilham dan PetunjukNya
[2]     Saya curiga, jangan-jangan yang ada dalam pikiran Anda itu bukan ilmu, tetapi sekadar hafalan. Sebab yang namanya ilmu itu biasanya digambarkan berada dalam qalbu. Kalau begitu wajar, banyaknya sarjana tidak membawa manfaat secuil pun, tidak berkorelasi dengan pemajuan. Bahkan justru menjadi salah satu sumber persoalan. Ya, ilmu yang Anda bawa itu sekarang berubah menjadi residu ilmu yang tersangkut di dalam benak Anda.
[3]     Dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa siapa yang yang menginginkan dunia, dia akan diberi. Siapa yang menginginkan akhirat dia akan diberi….
  [4]   Saya termasuk salah seorang dari segelintir orang (mungkin) yang tidak setuju dengan hak paten yang Yahudian itu.
[5]     Dicuplik dari surat saya kepada rekan-rekan peneliti yunior yang sedang dan akan melaksanakan tugas belajar (25 Juni 1999)

04 - Sifat Pikiran



Singkat kata, pikiran adalah alat bantu kita dalam menjalani praktik kehidupan ini.
1.   Satu pertanyaan yang menarik dan layak kita ajukan kemudian adalah, apa yang kita harapkan dari bantuan pikiran itu? Saya jawab saja, tidak lain adalah kemajuan. Dengan kata lain, kita anggap saja seluruh kemajuan manusia saat ini adalah berkat bantuan pikiran.
2.   “Benarkah seluruh kemajuan manusia bersumberkan dari pikiran? Atau, mampukah pikiran manusia membikin kemajuan?”
3.   Tunggu dulu, “Apakah kemajuan itu?”
Kalau pendapatan Anda bulan lalu 1 juta rupiah, lalu berkat bantuan pikiran Anda, bulan ini menjadi 2 juta rupiah, apakah itu kita sebut kemajuan? Kalau ya, bagaimana jika bersamaan dengan itu kebutuhan Anda berlipat 3 kali?
4.   Kalau begitu, bagaimana kalau begini saja: kalau pendapatan Anda naik 2 kali lipat dan kebutuhan Anda tetap atau bahkan turun, itu baru kemajuan bukan?
5.   Jadi, “Apakah kemajuan itu?”
Kemajuan, dalam contoh kasus pendapatan itu adalah, berkurangnya jarak antara kemampuan (pendapatan) dengan kebutuhan bukan?. Ya, akan lebih baik kalau pendapatan Anda bergerak jauh lebih cepat dari kebutuhan Anda tentunya. Kalau kita tarik garis yang lebih umum, maka ke­majuan adalah berkurangnya jarak antara “yang seharusnya (kebutuhan)” dengan “apa adanya atau kenyataannya (pendapatan)”. Tentu, kalau bisa, “kenyataan” bergerak lebih cepat dari “yang seharusnya”.

…pikiran adalah alat bantu kita dalam menjalani praktik kehidupan ini .

Era global…persaingan bebas menjadi ciri khasnya. Kalau dalam persai­ngan kita menggunakan cara jiplakan dari “musuh” kita, mungkinkah kita dapat memenangkan persaingan? Jawabnya jelas, tidak bisa! Dus, yang harus kita laku­kan adalah mencipta bukan?


Kita sudah menjawab pertanyaan apa itu kemajuan. Sekarang, mampukah pikiran[1] manusia membikin kemajuan? Apakah Anda termasuk orang yang percaya bahwa pikiran mampu men­cip­takan kemajuan? Mari kita buktikan dengan jalan mengajukan persoalan yang up to date kepada pikiran berikut ini.
Era global, salah satu pengertiannya adalah era dimana batas geografis antar negara nya­ris tak relevan lagi. Persaingan bebas akan menjadi ciri khasnya. Kalau dalam persaingan kita menggunakan cara jiplakan dari “musuh” kita[2], mungkinkah kita dapat memenangkan persaingan? Jawabnya jelas, tidak bisa! Meskipun begitu, coba Anda perhatikan, tidakkah Anda sadar, bahwa sejak Anda bangun tidur sampai dengan mau tidur lagi, cara Baratlah yang Anda terapkan bukan? Oleh karena segala segi kehidupan kita meniru Barat, maka sekarang kita dipermainkan oleh Barat. Dus, yang harus kita lakukan adalah mencipta bukan?
Ya, mencipta atau berkreasi, itulah kata kuncinya. Kalau kita tarik lebih umum lagi, kita musti menjadi mandiri dalam pengertian yang seluas-luasnya, personal maupun institusional. Tentu bukan dalam pengertian penciptaan yang sama sekali baru, meskipun juga tidak menutup kemungkinan yang demikian. Ini perlu kerja-cerdas (kerja-cerdas!) dan keikhlasan kita. Karena penciptaan/kreasi tidak memerlukan biaya kecuali keikhlasan. Kita juga musti sabar, karena hasilnya mungkin baru bisa dinikmati oleh anak cucu kita.
            Kembali kepada pertanyaan sebelumnya, apakah pikiran manusia mampu mencipta­kan kemajuan? Mari kita lihat, benda macam apakah sebenarnya pikiran itu sehingga kita begitu bergantung kepadanya? Pikiran itu mempunyai beberapa sifat berikut ini.


PIKIRAN ITU MENGUMPULKAN
           
            Ketika seorang bayi sudah bisa mengucapkan satu-dua kata yang diajarkan kedua orangtuanya, kata yang paling mudah diucapkannya biasanya kata pa-pa atau ma-ma. Maka setiap kali dia melihat benda bergerak, dipanggilnya pa-pa atau ma-ma. Begitulah seorang bayi mengulang apa yang dia cerap dari luar. Contoh sederhana itu memberikan gambaran kerja pikiran yakni :
a.  Sebuah tindakan adalah ungkapan ulangan (dalam hal ini berbentuk kata-kata) dari ingatan/memori dalam pikiran
b.  Tindakan itu disimpan dalam pikiran yang bersumber dari pengalaman. Jelasnya adalah pengalaman yang berupa “ajaran” dari luar (kedua orangtua).

Seorang dewasa, bahkan seorang profesor sekalipun sebenarnya hanya bisa mengulang pengalamannya, baik dari mendengar, melihat maupun membaca. Jadi, berpikir berarti mengulang pengalaman yang lalu.
…ketika Anda berlogika, Anda tidak sedang berpikir, melain­kan meniru orang lain berpikir
… berpikir dalam pengertian konvensional mustahil dapat mencipta
            Gejala seperti digambarkan di atas sebenarnya berlaku pula pada orang dewasa sekalipun, setinggi apapun tingkat pendidikannya. Seorang dewasa, bahkan seorang profesor sekalipun sebenarnya hanya bisa mengulang pengalamannya, baik dari mendengar, melihat maupun membaca. Jadi, berpikir berarti mengulang pengalaman yang lalu.
Anda tentu mengenal istilah rasional dan logis. Itulah 2 jalan pikiran manusia. Ketahuilah, bahwa kemampuan kita ber-“rasio” dan berlogika pun, sesungguhnya hasil penumpukan memori itu juga. Jadi, ketika Anda berlogika, Anda tidak sedang berpikir, melainkan meniru orang lain berpikir. Anda menggunakan 2 jalan pikiran itu setelah Anda diberi tahu guru-guru Anda atau dari buku-buku. Selanjutnya, dua jalan pikiran itu menjadi penjara bagi pikiran itu sendiri. Pikiran Anda tidak bisa menjawab apa yang tidak pernah dialaminya.
            Analogi sempurna dari kemampuan pikiran yang hanya menumpuk memori itu adalah piranti komputer. Kalau komputer diisi memori program atau “diajari” bahwa 1 + 2 = 3, maka kalau kita tanya 2 + 2 itu berapa, pasti komputer akan menjawab: “Tidak tahu”. Atau malah menyalahkan kita, “Anda salah memasukkan data!”, katanya. Ya, komputer itu dungu. Dan manusia yang hanya bisa mengulang apa yang dialaminya, itu juga……….(maaf) dungu.
Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti dialog berikut ini:
Guru : "Badu, lihat pesemaian jeruk, dan siram supaya tumbuh dengan baik"
Badu : "Badu, lihat pesemaian jeruk, dan siram supaya tumbuh dengan baik".
Guru : ...... ???
            Jadi, berpikir dalam pengertian konvensional mustahil dapat mencipta.


PIKIRAN ITU BERGANTUNG


…karena pikiran tidak bisa “melihat”, maka ia tidak bisa mengetahui. Dan karena pikiran tidak bisa mengetahui, maka ia tidak akan mampu mencipta
            Pikiran tidak bisa mengumpulkan langsung pengalaman dari luar dirinya. Ini sudah jelas. Untuk mengumpulkan pengalaman, pikiran banyak bergantung terutama kepada mata dan telinga. Jadi pikiran itu sendiri adalah suatu piranti yang buta, tidak bisa melihat. Berdasarkan prinsip usul fiqih Al-Asy’ari, maka sesuatu yang tidak bisa melihat mustahil bisa mengetahui (berilmu), dan sesu­atu yang tidak bisa mengetahui mustahil mampu mencipta. Jadi, karena pikiran tidak bisa “melihat”, maka ia tidak bisa mengetahui. Dan karena pikiran tidak bisa mengetahui, maka ia tidak mampu mencipta.
            Sampai di sini Anda tentunya mulai mengerti, bahwa dalam hal penciptaan, pikiran tidak dapat diandalkan bukan?. Jelas?!


PIKIRAN ITU MENGIRA

            Katakan saja, saya meletakkan sebuah batu di atas meja. Sekarang, pandanglah batu itu beberapa saat, lalu pejamkan mata Anda. Masih adakah “gambaran” batu itu di benak Anda? Ya, tentu masih ada.
Masih dalam keadaan mata Anda terpejam, tanpa sepengetahuan Anda, batu itu saya geser letaknya. Sekarang katakan pada saya, bagaimana keadaan batu itu?
            Pikiran mustahil bisa mengetahui pergeseran letak batu itu. Paling ia hanya mengira-ngira berdasarkan “gambaran” yang masih ada di dalam memorinya. Jadi, berpikir itu pada hakikatnya mengira bahwa sesuatu itu ada, mengira bahwa sesuatu itu benar. Dengan kata lain, berpikir itu berarti berspekulasi.
…berpikir itu pada hakikatnya mengira bahwa sesuatu itu ada, mengira bahwa sesuatu itu benar. Dengan kata lain, berpikir itu berarti berspeku­lasi .
Barang yang kapasitasnya hanya berspekulasi, mungkin­kah dapat menciptakan? Bukankah kalau demikian, pikiran itulah problem kita?
            Barang yang kapasitasnya hanya berspekulasi mungkin­kah dapat menciptakan? Bukankah kalau demikian, pikiran itulah problem kita?

             Disamping ketiga sifat pikiran tersebut, ada satu hal yang menjadi kelemahan pikiran, yaitu PIKIRAN TIDAK MAMPU MENCERAP FAKTA. Pikiran manusia mustahil mampu mencerap fakta secara keseluruhan sekaligus. Dalam dunia akademik, hal ini dibuktikan oleh dipilah-pilahnya ilmu menjadi beberapa disiplin ilmu. Dalam hal ini sebenarnya saya tidak begitu yakin, apakah hal ini disebabkan semata oleh kapasitas pikiran yang terbatas, ataukah karena sifat pikiran yang cenderung memilah (analitis) dan tidak mampu meramu (sintesis). Ya, kita ini (dengan berpikir konvensional) paling pandai menganalisis, tetapi tidak pandai mensintesis. Kita paling peduli dengan masalah-masalah rinci, tetapi tidak suka yang substansial. Oleh karena itulah yang paling menonjol pada setiap diskusi adalah penemuan kambing hitam. Tentu saja begitu, karena kalau kita berbicara substansial, maka kambing hitamnya adalah kita semua bukan?.
            Kita akan bertemu lagi pada lain bagian untuk sifat pikiran yang tidak mampu mencerap fakta itu.


[1] Untuk sementara Anda harus mengartikan pikiran sebagaimana pengertian Anda selama ini, yaitu mengumpukan hafalan
[2] Sejauh ini saya merasakan adanya keanehan, mengapa kita tidak pernah menyinggung “musuh” saingan kita nanti. Bukankah nanti basis balit adalah bisnis?. Mungkin karena selama ini kita merasa paling hebat tanpa saingan dalam soal teknologi. Meskipun tentu saja dalam pengertian mempersoalkan teknologi, dan bukan menghasilkan teknologi.

03 - Pendahuluan



Sebegitu jauh kita sudah mengembangkan pikiran, merambah keperiadaan yang makro dan mikro, tetapi sedikit sekali kita meluangkan waktu untuk menengok pikiran. Inilah aneh!

            Setiap orang tentu percaya, bahwa berpikir itu lebih dari sekadar pengisi waktu luang selagi kita belum meninggal. Setiap orang juga percaya, bahwa keingin-tahuan yang bers`ngkut-paut dengan pikiran, adalah salah satu dari naluri kemanusiaan. Anehnya, sebegitu jauh kita sudah mengenal hampir segala keperiadaan di dunia ini, tetapi jarang sekali timbul keingin-tahuan kita terhadap pikiran itu sendiri. Sebegitu jauh kita sudah mengembangkan pikiran, merambah keperiadaan yang makro dan mikro, tetapi sedikit sekali kita meluangkan waktu untuk menengok pikiran. Inilah aneh! Akan lebih aneh lagi, tepatnya lebih membingung­kan lagi, kalau kita mendengar apa yang dikatakan oleh Edward de Bono (1989):
“Hanya ada sedikit harapan, apabila ras manusia secerdas seperti yang mereka kira (selama ini) tetapi ternyata justru terbenam di dalam begitu banyak kesulitan”
Artinya, kemampuan atau keberhasilan kita keluar dari kesulitan hidup menjadi kecil, seandainya kita benar-benar cerdas seperti yang kita kira selama ini. Pada kesempatan lain de Bono mengatakan:
“Saya sungguh percaya bahwa hal paling optimistis mengenai ras manusia adalah kebodohannya yang relatif”.
            Tentu saja, bukan menjadi tujuan de Bono agar kita menumpulkan kemampuan pikiran sebagai jalan keluar dari persoalan dan kesulitan-kesulitan hidup. Justru pernyataannya merupakan ajakan bagi kita untuk memahami lebih serius lagi tentang pikiran yang selama ini kita andalkan sebagai dewa penolong dalam memecahkan persoalan.
Masih berkaitan dengan pikiran manusia, dengan ungkapan yang lebih filosofis, salah seorang guru jauh saya berkata:

Pikiran tidak akan mampu memecahkan problem manusia yang mana pun. Sebab pikiranlah problem kita satu-satunya
“Pikiran, tidak akan mampu memecahkan problem manusia yang mana pun. Sebab pikiranlah problem kita satu-satunya. Begitulah, saya menjadi terheran-heran dibuatnya. Bahwa setelah sebegitu jauh kita mengisi bumi ini dengan pengalaman dan pemikiran, tetapi justru tidak banyak yang berubah dari perilaku kita. Tidakkah kita sadar, bahwa setiap sesuatu yang kita sentuh, tiba-tiba berubah menjadi problem?. Bukankah kemerdekaan adalah problem, cinta adalah problem, berbicara adalah problem, men­dengar adalah problem, bekerja adalah problem?[1]”.
            Mungkin Anda agak terkejut, satu-satunya problem kita, kata beliau, kok pikiran!?. Baiklah kita tunda dulu keheranan Anda itu. Saya sependapat, bahwa kemerdekaan, cinta, dst. itu ternyata sekarang memang berubah menjadi problem.
Pikiran adalah piranti lunak yang diasosiasikan dengan otak, berfungsi membantu kita memahami fakta eksternal dan pemanfaatan fakta itu untuk kelangsungan hidup manusia.

Oleh karena itu, sebagai alat bantu, sangatlah penting dipahami bagaimana pikiran kita berperilaku
            Tetapi apakah pikiran itu? Begitu pentingkah kita memahaminya – walau serba sedikit – bagai­mana pikiran kita bekerja, misalnya?. Tidak cukupkah kita berpikir begitu saja? Lalu, dapatkah pikiran itu memikirkan dirinya sendiri? Mari kita jawab serangkaian pertanyaan itu satu per satu:
1.  Apakah pikiran itu? Kita bikin mudah saja, pikiran adalah piranti lunak yang diasosiasikan dengan otak, berfungsi membantu kita memahami fakta eksternal dan pemanfaatan fakta itu untuk kelangsungan hidup manusia. Pada bagian selanjutnya kita akan mengulas perihal ini lebih rinci lagi
2.  Begitu pentingkah kita memahaminya – walau serba sedikit – bagai­mana pikiran kita bekerja, misalnya?. Tidak cukupkah kita berpikir begitu saja? Telah disebutkan di atas, bahwa pikiran adalah alat bantu kehidupan kita. Maka dapatlah kita mengambil kias bahwa pikiran adalah seperti seekor kuda yang membantu kita menempuh perjalanan. Mungkin sekarang mulai agak jelas, bahwa sudah barang tentu kita musti mengenal karakter kuda itu, dan kita pulalah yang seharusnya memegang kendalinya bukan? Kalau tidak demikian, maka justru kitalah yang akan dikendalikan kuda itu. Jadi jelas, berpikir begitu saja tidak cukup!
3.  Dapatkah pikiran memikirkan dirinya sendiri? Ini analog dengan pertanyaan: “Dapatkah sebuah penggaris digunakan untuk mengukur penggaris itu sendiri? Ya, tentu saja tidak bisa. Penggaris itu hanya dapat diukur dengan alat/penggaris lain yang lebih peka! Jadi, pikiran tidak akan bisa memikirkan dirinya sendiri. Pikiran hanya bisa dipikirkan dengan alat lain yang lebih peka daya “pikirnya”, atau lebih tinggi tingkat kesadarannya. Ini tidak lain adalah qalbu.
Pada suatu hari ada seorang Bapak yang terhormat datang ke kantor Balitbu. Beliau datang, katanya ingin mendapatkan masukan/kritik sebagai bahan introspeksi atau bercermin. Sayang, beliau datang dan berkata begitu setelah mau pensiun.
Perhatikan, alangkah luhurnya tujuan beliau datang ke Balitbu. Tetapi perhatikan lagi, bagaimana beliau itu bisa berkaca kalau belum ada kepastian: (a) di ruangan tempat berkaca ada cahaya atau tidak, (b) kacanya bersih atau kotor, dan (c) matanya normal atau tidak. Kalau ini semua belum terjawab, maka itikad baik hanya tinggal itikadnya saja, sedangkan baiknya habis menguap bersama kebodohannya. Ya, kalau cahaya itu kita padamkan dengan menjauhi agama, cermin itu kita kotori dengan perbuatan jahat, dan mata kita butakan dengan hiburan (nama-nama, alasan-alasan), bagaimana bisa ada introspeksi?

…kita, tentu harus mengguna­kan pikiran sebaik mungkin. Tetapi…kita harus menduduk­kan pikiran pada tempatnya, baru kita menggunakannya. Jangan sampai kita mengira sudah berpikir, ternyata hanya berhayal, atau meniru orang lain berpikir.
Dengan jalan pikiran yang sama, saya bisa mengatakan bahwa Anda, kita, tentu harus menggunakan pikiran sebaik mungkin. Tetapi, sekarang (semoga) menjadi jelas, bahwa sebelum itu kita harus tahu dulu, apakah sebenarnya pikiran itu. Ya, kita harus mendudukkan pikiran pada tempatnya, baru kita menggunakannya. Jangan sampai kita mengira sudah berpikir, ternyata hanya berhayal, atau meniru orang lain berpikir. Seperti juga, jangan sampai kita mengira menunggang kuda, tetapi ternyata yang kita tunggangi keledai. Begitu seterusnya.
Saya ingin mengambil kesempatan sekaligus menutup bagian pendahuluan ini dengan mengajukan satu hipotesis:
“Hidup kita hari ini dikendalikan oleh pikiran, dan bukan sebaliknya”


Ya, kita diperkuda oleh kuda tunggangan kita yang bernama pikiran! Karena kita penunggang kuda yang tidak mengerti karakter kuda kita sendiri.


[1] Tidakkah Anda juga ter­heran-heran, bukankah Balitbu juga problem?

02 - Pengantar


            Saya tertawa sendiri ketika menuliskan identitas saya dalam tulisan ini. Sebenarnyalah saya hanya seorang pemulung yang sedang memunguti apa yang tercecer dan Anda tinggalkan. Begitulah, saya pernah memposisikan diri sebagai seorang kakek yang menghibur cucunya yang sedang resah. Di waktu lain saya menjadi (semacam) kiyai, menjadi kawan, bahkan juga menjadi lawan. Mengapa begitu? Karena saya ingin mengisi kekosongan di lingkungan kita. Karena tak ada orang yang mengisi posisi itu. Karena kita sibuk berebut tulang. Ya, sekarang saya memposisikan diri menjadi pemerhati dan teoritikus character building. Sekali lagi, ini saya lakukan karena tak ada orang yang mengisi posisi itu. Juga – sekali lagi – karena kita sibuk berebut tulang.
Dengan ukuran apa pun, sebenarnya tak ada kapasitas saya untuk menjelaskan bagaimana memikirkan pikiran, menguraikan mengenai pikiran manusia, perihal yang pelik ini. Saya katakan pelik, karena saya yakin sangat sedikit di lingkungan kita, bahkan mungkin tak ada orang yang mencoba meluangkan waktu untuk merenungkan dirinya sendiri, di antaranya memikirkan pikirannya sendiri. Kita lebih sibuk dengan faktor-faktor eksternal. Oleh karena itu saya tidak yakin, mampukah saya menjelaskan perihal pikiran itu dengan benar. Atau  dapatkah Anda menangkap maksud saya itu nanti. Jangan-jangan saya membuat masalah yang sudah jelas, justru menjadi tidak jelas. Maka saya akan merasa sudah cukup senang sekiranya paper ini menjadi bahan renungan kita bersama pada pasca seminar. Sebab tidak mungkin kita berharap terlalu banyak dari forum seminar yang singkat ini, sampai diperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang pikiran.
Beberapa hal perlu saya kemukakan sebelum Anda menyimak paper ini:
1. Tulisan ini tidak tersusun secara terstruktur. Bukan apa-apa, karena saya tidak mampu membuat tulisan yang terstruktur. Tetapi saya justru melihat hikmah dari ketidak-terstrukturan tulisan ini, yaitu tak ada jalan bagi Anda untuk menyalurkan “penyakit” manghafal yang sangat saya benci itu
2. Gaya bahasa yang saya gunakan adalah gaya bahasa pasaran, bahasanya orang awam. Hanya dengan modal ketulusan dan keseriusan saja yang membuat tulisan ini tersusun, meskipun tidak mempunyai kadar ilmiah seujung kuku pun
3. Anda tidak akan bisa mengidentifikasi, apakah tulisan ini tentang pengetahuan umum ataukah tentang agama. Bagi saya, ilmu umum (U) dan ilmu agama (A) itu satu hal, yaitu ilmu Addien (D). Diungkapkan dengan persamaan kimia menjadi = U + A <==> D. Perhatikan tanda panah bolak-balik)
4. Tulisan ini tidak dilengkapi dengan daftar pustaka, bukan karena isinya sepenuhnya hasil pemikiran saya, melainkan karena saya ingin memperkaya pustaka, dan bukan pustaka yang memperkaya saya
5. Beberapa hal pokok yang saya anggap penting, memang sengaja saya ulang-ulang pada berbagai bagian tulisan ini. Hal itu saya lakukan semata-mata sebagai upaya saya untuk menjelaskan sesuatu dengan berbagai cara, agar Anda tidak salah mengerti. Semoha saja tidak membosankan.

Bagi Anda yang tidak punya waktu banyak membaca tulisan ini sampai tuntas, baiklah saya sampaikan pesan sentral dari tulisan ini, yaitu: kembalilah kepada agama Anda secara menyeluruh (kaffah). Tidak peduli apakah agama Anda itu atheisme, materialisme, rasionalisme, atau apa pun juga. Tidak penting apakah tuhan Anda itu nafsu, syetan gundul, demit gentayangan, iblis, atau tuhan bikinan pikiran Anda sendiri, ataukah Tuhan yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW. Selagi Anda kaffah, Anda akan memperoleh apa yang Anda idamkan. Maha Suci Dia, betapa Dia tidak pilih kasih[1], bahkan orang yang durhaka sekali pun akan dikabulkan keinginannya, karena “Agama-Ku ini untuk seluruh umat manusia”, firman-Nya. Kalau tidak demikian, kalau kita tidak kaffah, selamanya kita akan tetap pandai tetapi bodoh sekaligus, sholat tetapi korup, pekerja dan pemalas sekaligus, murah senyum tetapi jahat, sedikit karya banyak tuntutan. Begitu seterusnya!.

Pada galibnya, acara seminar seperti ini, orang diajak untuk memikirkan pemikiran orang lain. Tetapi sekarang saya datang mengajak Anda untuk memikirkan pikiran itu sendiri. Selamat berpikir!
–––––––––



[1] Dia Yang Maha Kasih tidak pernah pilih kasih seperti kita!

01 - Pengantar Ed. Revisi



Saiful Hosni
Pemerhati dan Teoritikus Character Building Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Resaercher of the researchers


PENGANTAR EDISI REVISI

Dalam naskah “Memikirkan Pikiran (MP)” edisi revisi ini, sebenarnya tidak ada perubahan yang prinsip. Namun demikian, barangkali ada gunanya kalau saya sebutkan sekilas mengenai revisi itu:



  1. 1. Pada bagian depan saya tambahkan sebuah ringkasan, yang saya beri judul tersendiri, yaitu: Kronika dalam Memikirkan Pikiran. Sebenarnya ringkasan ini sudah pernah saya terbitkan tersendiri pada pasca seminar MP dalam bentuk selebaran dengan nomor terbitan 4. Namun pada naskah ini, “kronika” juga sudah mengalami revisi seperlunya
  2. 2. Pada beberapa bagian saya coba tambahkan penjelasan lebih lanjut untuk tema-tema yang saya anggap masih kabur. Perubahan atau tambahan ini, bahkan saya lakukan pula pada catatan kaki
  3. 3. Beberapa teman mengkritik saya mengenai penggunaan kata-kata yang terlalu kasar. Oleh karena itu, pada edisi revisi ini dengan sangat terpaksa (sangat terpaksa!) saya perhalus. Tetapi saya tidak bersedia merevisi kalimat saya yang pada umumnya “ber-ANDA-ANDA” dengan Anda. Siapa pun yang membaca naskah ini, dia berhak berbeda pandangan, bahkan menentang pandangan saya dalam tulisan ini. Dengan cara itu saya berharap pembaca tetap sadar tentang adanya dua pihak, yaitu saya dan pembaca. Karena saya hanyalah menendang bola, mengajak pembaca untuk berpikir. Selebihnya terserah Anda, apakah bola itu akan dibuang, diolah, atau bukan apa-apa
  4. 4. Pada setiap bagian yang saya anggap penting, saya sisipkan sebuah ringkasan (caption) mengenai bagian tersebut. Ini untuk menyediakan kesempatan bagi Anda yang tidak mempunyai banyak waktu membaca seluruh isi naskah
  5. 5. Pada bagian belakang saya tambahkan pula dialog yang terjadi saat naskah MP ini diseminarkan. Harap Anda ketahui, bahwa catatan itu sebenarnya hanya berdasarkan daya-ingat saya saja, karena saya tidak menerima atau tidak mempunyai (semacam) notulen atau prosiding hasil seminar. Dengan menyatakan ini saya ingin menunjukkan, inilah salah satu kelalaian kita. Setiap kali ada rapat, seminar dan semacamnya sangat jarang peserta acara itu menerima notulen/prosidingnya.
Selebihnya saya hanya bisa berharap, semoga naskah ini bermanfaat.


Solok, Agustus 2003
Penulis



[1] Makalah disampaikan pada acara Seminar Sabtuan, 26 April 2003 di Balai Penelitian Tanaman Buah