Laman

Senin, 20 Februari 2012


10 - CONTOH KASUS, IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI

PEMILAH-MILAHAN: Urusan dinas dan urusan pribadi – perasaan dan pikiran

Pada ulasan sebelumnya sudah disebutkan, bahwa pikiran cenderung memilah-milah, memi­sah-misah. Ketika pilah-pilah itu disatukan, ternyata tidak sama dengan totalitas objek yang kita pilah-pilah, tidak factual.
Dalam keseharian, biasanya kita justru mengembangkan prinsip pecah-belah, pemilah-milah­an, sehingga ketika pilah-pilah itu disatukan, tidak sama dengan keseluruhannya. Kepada kita biasa­nya dikatakan: “Anda harus bisa MEMISAHKAN antara URUSAN DINAS dengan URUSAN PRIBADI”.
Jika memang demikian, tolong tanyakan kepada yang mengatakannya, “Ketika Anda YANG DINAS berangkat ke kantor, dimana Anda YANG PRIBADI disimpan? Apakah kita ini memang bisa dipilah-pilah seperti itu. Kalau saya YANG PRIBADI + saya YANG DINAS, apakah sama dengan saya YANG MANUSIA?”.
Mungkin saja seseorang merasa sudah meninggalkan KEPRIBADIANNYA saat bekerja. Tetapi ketahuian, bahwa KEPRIBADIAN itu tidak pernah meninggalkannya. Karena kepribadian adalah urusan bati, urusan qalbu. Tegasnya, Anda bisa meninggalkan qalbu, tetapi qalbu tidak akan pernah meninggalkan Anda.
Contoh lain : “Bekerjalah dengan pikiran, dan bukan dengan perasaan”
            Kalau yang dimaksud perasaan itu rasa sentimen misalnya, saya setuju kita harus meng­hindarkan diri dari perasaan seperti itu. Tetapi ketahuilah, bahwa perasaan hanyalah sebagian kecil dari kekayaan khazanah batiniah/qalbu kita. Jadi jelas mengikhlaskan rasa sentimen tidak sama dengan membuang qalbu dalam pergaulan atau dalam bekerja. Kalau qalbu harus dibuang dari lingkungan kerja, pantas saja kalau kita ini kejam, tidak produktif, awut-awutan dan bisanya hanya meniru dan menipu dalam bekerja.
            Bagaimana saran pemilah-milahan seperti itu bisa muncul?
            Kalau Anda bekerja dan bergaul melibatkan perasaan (qalbu) dan kepribadian Anda, maka Anda akan bekerja penuh dedikasi, prestasi dan kreatif. Ya, bukankah dedikasi, prestasi dan kreasi itu bersumber dari qalbu/kepribadian? Jelas ini membahayakan pihak-pihak tertentu. Lagi pula dedikasi, prestasi dan kreasi itu bikin susah saja, bikin repot. Ya, kemalasan Andalah yang melarang Anda melibatkan kepribadian dan qalbu Anda dalam bekerja dan bergaul.
            Kalau Anda bergaul dan bekerja menggunakan perasaan (qalbu) dan/atau kepribadian Anda, maka jelas hanya orang-orang yang mempunyai otoritaslah yang akan berada di atas angin. Yaitu otoritas yang biasanya melekat pada jabatan, strata pendidikan, senioritas, kebodohan, dst. Pada kasus ini, egoisme Andalah yang melarang Anda untuk melibatkan perasaan/qalbu dan kepribadian Anda dalam pergaulan dan dalam bekerja.
            Proses terjadinya saran di atas, tentu saja tidak Anda sadari, melainkan justru mengalir di dalam darah Anda. Ya, bukankah syetan itu dapat mengalir mengikuti aliran darah? Dengan cara itu pulalah, kita mendengar pemilahan lain: (a) urusan dunia dan akhirat, (b) ilmu umum dan ilmu agama, (c) guru dan murid
            Perhatikan persamaan kimia berikut :
a.   Manusia seutuhnya                 ¬®   jasad + pikiran + ruh/kalbu     = manusia
b.   Dikurangi perasaan                ¾®   jasad + pikiran ¹ manusia = robot/binatang
c.   Dikurangi pikiran                      ¾®   jasad + ruh ¹ manusia            = ?
d.   Dikurangi pikiran dan jasad   ¾®   ruh ¹ manusia                        = hantu (?)

Begitulah dusta yang berkecamuk di keseharian dan yang sudah berurat akar. Ya, sesuatu pernyataan yang tidak faktual, bukankah dusta namanya?! Bukankah Anda diminta untuk tidak mengakui totalitas Anda sebagai manusia yang terdiri dari qalbu, pikiran dan jasad?

Yang seharusnya kita kembangkan bukanlah pemisah-misahan dan juga bukan pencam­pur-adukan, melainkan sekadar pembedaan. Ya, kita harus bisa membedakan antara pikiran dengan perasaan, tetapi tidak memisahkannya atau membunuh salah-satunya. Seperti juga, kita harus bisa membedakan antara daun dengan batang rambutan tadi, tetapi tidak memandangnya sebagai akta terpisah atau menganggap salah satunya tidak ada. Mengenai hal ini mari kita ikuti analogi berikut ini.
a.   Adalah fakta, bahwa manusia itu terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita (bandingkan dengan fakta: perasaan dan pikiran; urusan dinas dan urusan pribadi). Kita harus mampu membedakan antara pria dan wanita
b.   Tetapi itu bukan berarti pria dan wanita harus dipisahkan. Sebab kalau pria dan wanita dipisah­kan, maka dunia akan punah. Ya, dengan jalan apa manusia dapat mempertahankan spesiesnya kalau pria dan wanita dipisahkan?
c.   Demikian, juga pria dan wanita jangan dicampur-aduk (kumpul kebo). Sebab disamping hal ini dilarang agama, juga akan mengacaukan kehidupan social dalam jangka pendek dan panjang
d.   Pria dan wanita harus disatukan, harus dijembatani dengan prosesi nikah.
Jelas?!
Mari saya tunjukkan, betapa buruknya rupa orang yang mengandalkan jurus pemisah-misah­an itu. Biasanya dia tampil sebagai sosok pribadi yang berkeping-keping, plintat-plintut, munafik, berkepribadian ganda. Untuk orang lain dia bilang “buanglah perasaan Anda”, tetapi untuk dirinya sendiri dia mencampur-adukkannya. Hal itu bisa terjadi sebab yang dikatakannya tidak faktual, tidak sesuai dengan fitrah penciptaannya sebagai manusia, tidak sesuai dengan totalitas keberadaannya. Oleh karena itu kemudian menimbulkan konflik psikis, konflik internal. Konflik inilah yang membentuk sifat-sifatnya. Maka tidak heran kalau kita menemui gejala paradoksal seperti berikut:
a.  Orang pandai yang bodoh
b.  Orang kaya yang miskin
c.  Pejabat yang penjahat, dst.
Dan inilah jamannya orang-orang seperti itu naik ke atas tahta, menindas kita.
Saya tunjukkan lagi contoh yang lain :
a.  Dalam hal tangan, manusia sempurna itu mempunyai tangan kanan dan kiri
b.  Tetapi perhatikannlah, bahwa hubungan kedua tangan tersebut bukanlah sekadar tangan kanan + tangan kiri, melainkan mempunyai hubungan organis yang rumit dan jelas tidak sama dengan sekadar penjumlahan tangan kanan + kiri belaka.

PENTINGNYA PERENCANAAN

            Bahwa perencanaan itu penting, saya kira kita semua sudah tahu. Pada bagian ini saya ingin menyorotinya berdasarkan pemahaman dari ulasan-ulasan sebelumnya.
            Sudah menjadi kebiasaan, perencanaan disusun dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Sepanjang-panjang perencanaan (nasional) biasanya hanya 25 tahun. Ini adalah “pengakuan-diam” kita akan keterbatasan pandangan kita ke depan.[1] Dengan bahasa saya, inilah pengakuan-diam kita terhadap kepicikan diri. Dan bahkan dapat saya tunjukkan, inilah bukti kelalaian kita di antara kelalaian-kelalaian lain terhadap Titah-Nya. Sebaik-baik perencanaan adalah lepas dari dimensi waktu. Tegasnya, sebaik-baik perencanaan adalah dalam rentang waktu dunia–akhirat. Ya, siapa yang mengajari kita untuk merencanakan “hidup” hanya 25 tahun? Anda boleh mengajukan setumpuk alasan mengenai hal ini, tetapi saya tidak mendengar!
            Tetapi bukan itu yang ingin saya kemukakan pada bagian ini. Meskipun demikian, cobalah Anda renungkan realisme ulasan di atas dikaitkan dengan keimanan dan keseluruhan sistem keya­kinan Anda. Tentu secara formal tidak mungkin kita mengungkapkan secara eksplisit perencanaan semacam itu. Mari kita kembali ke pokok masalah.
            Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kelamahan-kelemahan pikiran. Nah, perencanaan itu penting untuk memberikan bahan yang dapat “dilihat” oleh pikiran agar tidak lalai, karena pikiran mudah lalai, di antaranya ketidak-mampuan pikiran mencerap fakta dengan tuntas itu tadi. Oleh karena itu, menurut saya berlakulah proses berpikir sebagai berikut (Gambar 5)

            Gambar 5 sebenarnya sudah kita kenal sejak masa SMP dan SMA dulu. Oleh karena itu saya tidak mengulasnya terlalu jauh. Hanya ada dua hal yang perlu saya kemukakan, yaitu:

a.   Pada awalnya, kita harus tahu dulu, apa hakikat dari sesuatu yang kita rencanakan (X=gajah), sebelum menuju ke hal-hal yang rinci. Jadi dari hal yang umum (X) menuju yang rinci (1,2 dan 3). Ini disebut deduski
b.   Setelah itu kita kembalikan lagi ke hal yang umum (induksi)

Untuk memperjelas implementasinya, marilah kita ikuti contoh yang saya bikin dari metode di atas (Gambar 6)


            Melihat Gambar 6, harap Anda tidak mempersoalkan pokok-pokok yang tertera di dalam­nya, sebab yang terpenting adalah bagaimana dan apa kegunaan gambaran seperti itu. Tentu de­ngan demikian, selanjutnya, Anda bisa melakukan kritik dan perubahan-perubahan pada model itu.
1.   Model pada Gambar 6, saya susun setelah melakukan induksi terhadap segala macam hal, baik TUPOKSI-TUPOKSI maupun problem-problem internal. Maka tersusunlah keseluruhannya itu yang mempunyai ciri: (a) sederhana[2], dan (b) banyak mengandung ungkapan-ungkapan nilai (etika, moral, akhlak, dst.), tetapi tetap tidak bertentangan dengan ketentuan formal, sehingga massage keseluruhannya dapat dicerap selintas-seketika oleh pikiran kita
2.   Setelah itu, barulah kita dapat menyusun perencanaan lebih lanjut (deduksi), yang dapat dime­ngerti oleh pikiran, baik dalam bentuk renstra (umum=dedukri dalam batas induksi) maupun yang lebih rinci (khusus)
3.   Saya tidak akan mengulas Gambar 6 lebih rinci. Saya persilakan Anda yang melakukan rincian­nya. Yang saya pentingkan adalah, kita semua sepaham, bahwa harus ada sesuatu yang dapat “menyentuh” qalbu, sekaligus dapat dimengerti oleh pikiran. Dari situlah baru kita memulai semuanya, ke depan, MELAMPAUI TEMBOK KEMUSTAHILAN.
4.   “Kesan pertama memang mempesona. Selanjutnya terserah Anda”, kata sebuah iklan.


[1] Dan juga ke belakang?
[2] Tentu sederhana menurut saya. Bisa saja model ini lebih disederhanakan lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar