Laman

Minggu, 19 Februari 2012

09 - SIAPAKAH SAYA?


Anda boleh melewati bagian ini

            Pada bagian ini, ijinkan saya mengambil kesempatan untuk curhat kepada Anda semua, mengenalkan diri. Kalau Anda tidak suka, Anda boleh melewati bagian “Siapakah saya?” ini, dan langsung ke bagian berikutnya. Saya juga akan menjelaskan beberapa hal yang terkait dengan uraian sebelumnya. Ini saya lakukan untuk menghindari kesalah-pahaman yang, menurut pengalaman, sering terjadi. Tetapi saya akan menjelaskannya secara meloncat-loncat dari satu tema ke tema lainnya, bercampur baur dengan curhat saya.

Siapakah saya?
1.   Sehebat apa pun saya menurut Anda (Ehm, terima kasih Anda telah memuji saya), ketahuhlah, bahwa saya adalah manusia biasa yang terdiri dari qalbu/ruh, pikiran dan tubuh. Oleh karena itu, apa pun yang saya katakan, termasuk kritik mengenai pikiran Anda misalnya, tetap saja melekat ciri kelemahan pikiran saya. Maka dua hal yang perlu Anda ketahui: (a) Saya hanya mengajukan model yang ideal, dan yang universal, tetapi (b) tidak terlalu penting, apakah model itu kemudian ternyata benar atau salah. Anda berhak mempunyai pendapat/model lain. Yang penting adalah saya mengajak Anda untuk menghidupkan kehidupan, menjadi bagian dari kekayaan dunia, dan bukan sebaliknya. Mengapa demikian, karena menurut pandangan saya, apa yang kita lakukan selama ini adalah: (a) membunuh karakter kita sendiri, (b) membunuh waktu dengan perilaku batil/sia-sia, (c) membunuh harapan, (d) menyebarkan kematian mental, (e) mengembangkan perilaku jahiliyah, dst.
2.   Tak terkatakan, bagaimana saya mencintai Balitbu, sangat sulit mengungkapkannya. Ya, kesulitan itu karena disamping cinta itu gaib, saya sedang berhadapan dengan sekelompok orang yang tidak mengenal cinta (rahman-rahim), apalagi mengalaminya. Ya, Anda hanya mengenal cinta sebagai hubungan sexual atau hubungan rasa antara pria dengan wanita.
3.   Bagaimana tantangan masa depan Balitbu, tidak perlu saya kemukakan lagi. Anda tentu lebih pandai daripada saya. Tetapi apa yang kita lakukan? Kita terus berebut tulang, kita terus bermain-main, sambil melumat gula-gula. Kita tidak peduli dengan Balitbu, karena kita juga tidak peduli dengan karakter kita sendiri. Ya, tentu tidak semua dari Anda begitu. Kalau saya benar, maka Anda tentu tahu ke mana institusi ini mengarah! Inilah problem yang sangat banyak menyita pikiran dan rasa saya. Bahwa semua kelemahan itu akan mewaris ke generasi berikutnya. Dan kita akan menanggung DOSA JARIYAH[1]. Yaitu dosa yang akan kita terima sampai di alam kubur kelak. Dosa itu akan tetap kita terima sampai efek dari perilaku kita dan yang diteladani oleh para yunior itu menjadi sirna. Yang lebih meremas-remas rasa adalah, ada di antara Anda yang secara sadar atau tidak, menularkan semua kelemahan itu kepada para yunior.
Tentu saja “ancaman” saya itu akan ada gunanya, jika dan hanya jika Anda memang percaya kepada Sang Khalik dan hari akhir. Kalau tidak, berharaplah SEMOGA AKHIRAT ITU TIDAK ADA. Ya, karena perilaku kita lebih cocok dengan perilaku orang yang tidak percaya kepada hari akhir kok!

Fragmen dialog

4.   Seorang teman dekat saya menyatakan: “Dengan makin banyaknya lulusan petugas belajar yang umumnya masih yunior itu, tentu kita boleh berharap akan adanya kemajuan yang lebih signifikan di Balitbu sejak sekarang. Kita semua menjadi saksi, bagaimana hebatnya daya kritis mereka pada saat acara raker tempo hari. Ini menjadi justifikasi yang cukup kuat bagi optimisme saya itu”.
Pada dasarnya teman saya itu ingin membangun hipotesis, atau model yang berbunyi: “Bertambahnya jumlah sarjana berkorelasi positip dengan kemajuan”. Selanjutnya dia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”.
Saya menjawab pertanyaan dia dengan balik bertanya: “Menurut Sampeyan, bagaimana kita harus menanggapi pernyataan seorang bule bahwa problem kita adalah soal moral[2]? Kalau si bule itu benar, apakah saya masih harus menjawab pertanyaan Sampeyan?”.
Sebenarnya tidak enak juga membahas masalah ini, sebab kalau saya menolak hipotesis teman saya itu, mudah sekali ditafsirkan bahwa saya telah meremehkan para lulusan petugas belajar. Sedangkan dengan mengutip pernyataan orang bule itu, seolah saya telah menghujat bahwa kita tidak bermoral. Inilah repot!
Dengan cara yang sama, setiap upaya perbaikan selalu mengalami kegagalan total, sebab kita selalu saja gagal sejak tahap awal, sejak tahap dialog.
Uraian di atas sekaligus memperagakan kepada Anda bagaimana saya berputar-putar, dihadap­kan kepada problem dalam mengungkapkan problem. Inilah problem di atas problem!. Ya, kita telah berhasil membangun penjara bagi pembebasan ekspresi kita sendiri, sehingga problem apa pun yang sedang kita bicarakan justru tak tersentuh, tetap di tempatnya semula. Sementara itu, pembicaraan (dialog) itu sendiri melantur kemana-mana. Itulah yang kita sebut dialog hari ini bukan?. Sekarang ijinkanlah saya, mengungkapkan rasa dari pengalaman empiris dialog di keseharian kita. Dengan ungkapan itu, saya berharap kita semua dapat melihat sekilas–seketika–menyeluruh, terhadap fakta empiris yang kita ciptakan bersama. Begini:
“Anda selalu membuat saya menangis, sedangkan saya selalu membuat Anda marah, mungkin!. Perhatikan, alangkah lemahnya saya, dan alangkah jahatnya Anda. Lalu, mengapa kita musti lemah dan jahat?”.

Pengabdian
5.   Sesungguhnyalah, penelitian itu mengabdi kepada kemanusiaan. Konsekuensinya, ia tidak pandang bulu, tidak pandang agama dan negara manusia-manusia. Ya, institusi ini diadakan dengan latar belakang: kepedulian, atau untuk memenuhi kebutuhan (pangan) manusia. Bahwa hanya karena alasan praktis dan teknis sajalah, kemudian kita mencukupkan diri pada lingkung nasionalisme. Namun demikian, tetap saja dapat kita “rasakan” bahwa di dalam nasionalisme itu terkandung kepicikan. Jadi, kita memerlukan ketersediaan pangan yang cukup kuantitas dan kualitas. Untuk itu diperlukan kerja yang baik, bukan? Dan bekerja yang baik diperlukan pikiran yang baik pula tentu. Ini sudah jelas! Sebelumnya sudah saya jelaskan, bahwa berpikir saja tidaklah cukup. Ya, kita memerlukan qalbu yang baik. Total jenderal, kita harus menjadi agamawan yang baik. Ya, karena hanya agama yang memandang Anda sebagai totalitas, bukan sebagai sesuatu yang dapat dipecah-pecah. Sekarang tinggal tergantung kepada bagaimana Anda melihat agama.

Ilmu

6.   Ilmu adalah salah satu dari sekian banyak perbendaharaan Rahmat-Nya yang tak terhitung. Oleh karena itulah, ilmu itu bersifat gaib[3]. Apakah yang gaib itu bisa dicari di sekolah-sekolah formal dan/atau informal? Jawabnya jelas tidak! Maka saya heran, ketika beberapa di antara Anda mempe­re­butkan kesempatan memperoleh “ilmu” itu sampai tega menginjak kaki dan membangun jarak dengan saudaranya sendiri. Hal ini terjadi karena, sekurang-kurangnya disebabkan oleh 4 hal: (a) tidak tahu bahwa ilmu itu tidak bisa dicari, dan (b) ada niat jahat yang melatar belakangi keinginannya meraih ilmu, dan (c) membayangkan karir yang lebih baik, tentunya juga duit yang lebih banyak kelak, dan (d) prestise semata.
Sesungguhnya ilmu itu terletak, atau tepatnya diletakkan di qalbu siapa saja yang dike­hendaki-Nya, dan bukan di qalbu orang-orang yang menginginkan ilmu. Mari saya tunjukkan bukti.

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin al-As r.a katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Allah s.w.t tidak mengambil ilmu Islam itu dengan cara mencabutnya dari manusia. Sebaliknya Allah s.w.t mengambilnya dengan mengambil para ulama sehingga tidak tertinggal walaupun seorang…….(sampai selesai).
Diriwayatkan oleh Abu Musa r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Perumpamaan Allah Azza Wa Jalla mengutusku menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti tetesan hujan yang membasahi bumi. Maka sebagian bumi tersebut menjadi subur tanahnya sehingga dapat menyerap air serta menumbuhkan rerumputan dan sebagian lagi berupa tanah-tanah keras yang dapat menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat meneguk air, memberi minum dan menggembala ternaknya di tempat itu. Ada juga tetesan air hujan tersebut jatuh di tanah yang lain, yaitu tanah gersang yang sama sekali tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput…..(sampai selesai).
Mari kita tarik inferensi dari kedua hadist di atas:
a.   Ilmu itu bukan yang ada di dalam pikiran, dan oleh karena itu hafalan bukanlah ilmu, melainkan residunya pikiran. Pada hadist di atas tampaknya Nabi ingin mengatakan, “Boleh jadi Anda menghafal seluruh buku-buku di dunia, tetapi hafalan itu bukanlah ilmu. Karena ilmu melekat pada seorang manusia. Oleh karena itu, ilmu itu hilang bersama berpulangnya seorang manusia berilmu (ulama) ke Hadirat-Nya. Kalau ilmu terletak di dalam pikiran, tentu Anda bisa mewarisinya melalui buku-buku para ulama itu. Padahal kalau Tuhan hendak mencabut ilmu (agama) dari dunia ini bukan dengan menghilangkannya dari (ingatan) manusia, dan juga bukan dengan melenyapkan buku-buku dari permukaan bumi”.
b.   Ilmu itu hidup, menghidupkan dan kreatif, sebab ia datang dan diletakkan di dalam dada Anda dari yang Maha Hidup dan Maha Kreatif. Oleh karena itu, ciri orang berilmu itu hidup, menghidupkan dan kreatif. Orang berilmu itu tumbuh dan menumbuhkan.

Mengapa Barat lebih maju?
7.   Karena orang Barat lebih konsekuen dengan agamanya. Apa agama mereka? Agama mereka adalah rasionalisme, dan tuhannya materi, meskipun mereka tidak menganggapnya demikian. Ya, mereka itu sangat konsentrasi, sangat khusuk dari saat ke saat dalam mengabdi kepada tuhannya. Ketahuilah, bahwa siapa Anda, tergantung kepada agama Anda, tergantung keyakinan-keyakinan Anda, dan itulah yang menggerakkan Anda dalam bekerja dan berperilaku. Tentu saja kemudian, saya kira Tuhan yang menurunkan Al-Qur’an, lebih menyukai orang Barat yang konsekuen itu, ketimbang kepada kita yang (maaf) munafik. Ya, karena Dia sudah berjanji akan meluluskan permintaan hamba-Nya yang mana pun, tidak pandang apakah mereka itu murtad atau tidak. Lihatlah, (a) di masjid sholat, di kantor jorupsi, (b) disuruh menjalin silaturrahmi, malah memutuskan, (c) “Akulah yang Maha Haq/benar” Firman-Nya, malah masing-masing kita merasa paling benar, dst.
Mungkin saja Malaikat lalu bingung dan bertanya-tanya, “Sebenarnya agama dan tuhan Anda ini yang mana sih. Kok pagi kedelai, sore tempe?”

Yang saya lakukan dan seharusnya kita lakukan

8.   Yang saya lakukan sebenarnya hanya sekadar mengajukan “model” yang pada prinsipnya segala sesuatu aktivitas kita kembalikan kepada agama, baik itu bekerja, “merasa”, berpikir, berbicara, mendengar, diam, memimpin, menjadi bawahan, dst. Beberapa hal perlu saya tekankan:
a.   Saya berasumsi bahwa Anda semua adalah orang-orang yang, setidaknya, beriman kepada Sang Khalik dan hari akhir
b.   Bagaimana pun hebatnya model yang saya ajukan, saya tetaplah manusia biasa seperti Anda semua. Maka perubahan, kritik, atau penggantian model yang lebih “agamis” daripada model yang saya ajukan, tentu bukan hal yang mustahil
c.   Jika Anda setuju dengan model yang saya ajukan, maka inilah hal-hal pertama yang harus kita lakukan:
·  Persaksian pertama. Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusannya (syahadat). Ini adalah ikrar kemerdekaan. Kita bersaksi bahwa materi itu bukan tuhan, pikiran itu bukan tuhan, perasaan itu bukan tuhan, nafsu itu bukan tuhan, teman itu bukan tuhan, dst. Maka kita tidak mempertu­rut­kan kehendak semuanya apabila melanggar Kehendak-Nya.
·  Amalan/aktivitas pertama. Mulailah segala sesuatu yang baik itu dengan basmalah, kata salah satu hadist. Ini adalah anjuran kepada kita untuk berjanji mem­bumikan Cinta-Nya yang di langit menjadi mewujud di bumi. Cinta inilah sumber dari segala sumber apa pun yang dapat kita cerap dan harus kita lakukan. Karena Dia Mencipta juga dengan Cinta (rahman-rahim). Saya juga ingin mengatakan: “Berpikirlah dengan kehadiran Nama-Nya di hati Anda. Karena Dia Yang Maha Cinta, Dia pula yang Maha Pencipta. Maka Insya Allah, pikiran Anda akan merefleksikan cinta dan penciptaan, dan bukan kebencian dan penjiplakan”. Maka, marilah kita tumbuhkan cinta kepada manusia seluruhnya, kepada pekerjaan, kepada air mata, gunung-gunung, mereka yang terbuang, mereka yang berkuasa, burung yang berkicau, maling yang digebuki, dst. Karena Tuhan juga begitu kok! Mengapa kita tidak?! Cobalah Anda perhatikan semua itu dengan jiwa polos, tanpa menghakimi, tanpa memberi cap. Setelah itu, sekarang jelaskan kepada saya, adakah Anda menemukan cinta di sana, di dada Anda? Tentu Anda tidak akan menemukan keterangan semacam ini di buku mana pun di dunia. Karena semua itu sebenarnya ada di dalam lembar-lembar qalbu Anda yang Anda abaikan selama ini, tetapi justru terus-menerus Anda suapi dengan kepuasan nafsu.
·  Ayat pertama. Membaca? Terus, teruslah membaca apa saja. Tetapi “Bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang Menciptakan”, kata Al-Qur’an. Kalau seluruh buku yang Anda baca tidak menghasilkan cinta dan penciptaan, maka sesungguhnya Anda hanya mengumpukan residunya ilmu, hafalan dari bacaan itu tidak lebih dari residunya pikiran. Residu itulah yang kemudian mendorong Anda sedikit karya banyak tuntutan, dan sifat-sifat residual lainnya.
Perhatikan, tidak ada hal baru yang saya kemukakan. Model yang saya ajukan hanyalah membubuhkan ruh di atas perilaku kita selama ini. Dan ruh itu adalah ruh agama. Insya Allah.


[1]     Tentu dosa jariyah saya yang peling kecil daripada Anda. Bahkan, setelah saya mengingatkan Anda dengan tulisan ini, maka dosa saya diampuni-Nya (Insya Allah)
[2]     Dari sumber yang bisa dipercaya, si bule menyatakan penilaiannya itu ketika dilakukan evaluasi kinerja Balitbu pada forum resmi di Jakarta.
[3]     Bahkan pada hakikatnya Rahmat Tuhan yang berupa benda-beda fisik itu terletak juga pada unsur kegaibannya, yaitu yang kita kenal dengan sebutan barokah. Maka, boleh jadi seseorang itu kaya, tetapi belum tentu kekayaannya itu berbarokah. Dan jangan lupa, substansi benda-benda fisik itu pun sebenarnya juga bersifat gaib. Sebab substansi benda-benda fisik adalah energi. Ataukah ada di antara Anda yang pernah melihat energi? Benda-benda fisik yang dapat kita lihat dengan mata telanjang itu hanya derivat dari energi. Singkat kata, seluruh benda itu adalah energi, dan energi adalah gaib meskipun kita dapat “merasakan” keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar