Anda boleh melewati bagian
ini
Pada
bagian ini, ijinkan saya mengambil kesempatan untuk curhat kepada Anda semua,
mengenalkan diri. Kalau Anda tidak suka, Anda boleh melewati bagian “Siapakah
saya?” ini, dan langsung ke bagian berikutnya. Saya juga akan menjelaskan
beberapa hal yang terkait dengan uraian sebelumnya. Ini saya lakukan untuk
menghindari kesalah-pahaman yang, menurut pengalaman, sering terjadi. Tetapi
saya akan menjelaskannya secara meloncat-loncat dari satu tema ke tema lainnya,
bercampur baur dengan curhat saya.
Siapakah saya?
1.
Sehebat
apa pun saya menurut Anda (Ehm, terima kasih Anda telah memuji saya),
ketahuhlah, bahwa saya adalah manusia biasa yang terdiri dari qalbu/ruh,
pikiran dan tubuh. Oleh karena itu, apa pun yang saya katakan, termasuk kritik
mengenai pikiran Anda misalnya, tetap saja melekat ciri kelemahan pikiran saya.
Maka dua hal yang perlu Anda ketahui: (a) Saya hanya mengajukan model yang
ideal, dan yang universal, tetapi (b) tidak terlalu penting, apakah model itu
kemudian ternyata benar atau salah. Anda berhak mempunyai pendapat/model lain.
Yang penting adalah saya mengajak Anda untuk menghidupkan kehidupan, menjadi
bagian dari kekayaan dunia, dan bukan sebaliknya. Mengapa demikian, karena
menurut pandangan saya, apa yang kita lakukan selama ini adalah: (a) membunuh
karakter kita sendiri, (b) membunuh waktu dengan perilaku batil/sia-sia, (c)
membunuh harapan, (d) menyebarkan kematian mental, (e) mengembangkan perilaku
jahiliyah, dst.
2.
Tak
terkatakan, bagaimana saya mencintai Balitbu, sangat sulit mengungkapkannya.
Ya, kesulitan itu karena disamping cinta itu gaib, saya sedang berhadapan
dengan sekelompok orang yang tidak mengenal cinta (rahman-rahim), apalagi
mengalaminya. Ya, Anda hanya mengenal cinta sebagai hubungan sexual atau
hubungan rasa antara pria dengan wanita.
3.
Bagaimana
tantangan masa depan Balitbu, tidak perlu saya kemukakan lagi. Anda tentu lebih
pandai daripada saya. Tetapi apa yang kita lakukan? Kita terus berebut tulang,
kita terus bermain-main, sambil melumat gula-gula. Kita tidak peduli dengan
Balitbu, karena kita juga tidak peduli dengan karakter kita sendiri. Ya, tentu
tidak semua dari Anda begitu. Kalau saya benar, maka Anda tentu tahu ke mana
institusi ini mengarah! Inilah problem yang sangat banyak menyita pikiran dan
rasa saya. Bahwa semua kelemahan itu akan mewaris ke generasi berikutnya. Dan
kita akan menanggung DOSA JARIYAH[1].
Yaitu dosa yang akan kita terima sampai di alam kubur kelak. Dosa itu akan
tetap kita terima sampai efek dari perilaku kita dan yang diteladani oleh para
yunior itu menjadi sirna. Yang lebih meremas-remas rasa adalah, ada di antara
Anda yang secara sadar atau tidak, menularkan semua kelemahan itu kepada para
yunior.
Tentu saja “ancaman” saya itu akan ada
gunanya, jika dan hanya jika Anda memang percaya kepada Sang Khalik dan hari
akhir. Kalau tidak, berharaplah SEMOGA AKHIRAT ITU TIDAK ADA. Ya, karena
perilaku kita lebih cocok dengan perilaku orang yang tidak percaya kepada hari
akhir kok!
Fragmen dialog
4.
Seorang
teman dekat saya menyatakan: “Dengan makin banyaknya lulusan petugas belajar
yang umumnya masih yunior itu, tentu kita boleh berharap akan adanya kemajuan
yang lebih signifikan di Balitbu sejak sekarang. Kita semua menjadi saksi,
bagaimana hebatnya daya kritis mereka pada saat acara raker tempo hari. Ini
menjadi justifikasi yang cukup kuat bagi optimisme saya itu”.
Pada dasarnya teman saya itu ingin
membangun hipotesis, atau model yang berbunyi: “Bertambahnya jumlah sarjana
berkorelasi positip dengan kemajuan”. Selanjutnya dia bertanya, “Bagaimana
pendapatmu?”.
Saya menjawab pertanyaan dia dengan balik
bertanya: “Menurut Sampeyan, bagaimana kita harus menanggapi pernyataan seorang
bule bahwa problem kita adalah soal moral[2]? Kalau si bule itu benar, apakah saya
masih harus menjawab pertanyaan Sampeyan?”.
Sebenarnya tidak enak juga membahas masalah
ini, sebab kalau saya menolak hipotesis teman saya itu, mudah sekali
ditafsirkan bahwa saya telah meremehkan para lulusan petugas belajar. Sedangkan
dengan mengutip pernyataan orang bule itu, seolah saya telah menghujat bahwa
kita tidak bermoral. Inilah repot!
Dengan cara yang sama, setiap upaya
perbaikan selalu mengalami kegagalan total, sebab kita selalu saja gagal sejak
tahap awal, sejak tahap dialog.
Uraian di atas sekaligus memperagakan
kepada Anda bagaimana saya berputar-putar, dihadapkan kepada problem dalam mengungkapkan problem. Inilah problem di atas
problem!. Ya, kita telah berhasil membangun penjara bagi pembebasan ekspresi
kita sendiri, sehingga problem apa pun yang sedang kita bicarakan justru tak
tersentuh, tetap di tempatnya semula. Sementara itu, pembicaraan (dialog) itu
sendiri melantur kemana-mana. Itulah yang kita sebut dialog hari ini bukan?.
Sekarang ijinkanlah saya, mengungkapkan rasa dari pengalaman empiris dialog di
keseharian kita. Dengan ungkapan itu, saya berharap kita semua dapat melihat
sekilas–seketika–menyeluruh, terhadap fakta empiris yang kita ciptakan bersama.
Begini:
“Anda
selalu membuat saya menangis, sedangkan saya selalu membuat Anda marah,
mungkin!. Perhatikan, alangkah lemahnya saya, dan alangkah jahatnya Anda. Lalu,
mengapa kita musti lemah dan jahat?”.
Pengabdian
5.
Sesungguhnyalah,
penelitian itu mengabdi kepada kemanusiaan. Konsekuensinya, ia tidak pandang
bulu, tidak pandang agama dan negara manusia-manusia. Ya, institusi ini
diadakan dengan latar belakang: kepedulian, atau untuk memenuhi kebutuhan
(pangan) manusia. Bahwa
hanya karena alasan praktis dan teknis sajalah, kemudian kita mencukupkan diri
pada lingkung nasionalisme. Namun demikian, tetap saja dapat kita “rasakan”
bahwa di dalam nasionalisme itu terkandung kepicikan. Jadi, kita memerlukan
ketersediaan pangan yang cukup kuantitas dan kualitas. Untuk itu diperlukan
kerja yang baik, bukan? Dan bekerja yang baik diperlukan pikiran yang baik pula
tentu. Ini sudah jelas! Sebelumnya sudah saya jelaskan, bahwa berpikir saja
tidaklah cukup. Ya, kita memerlukan qalbu yang baik. Total jenderal, kita harus
menjadi agamawan yang baik. Ya, karena hanya agama yang memandang Anda
sebagai totalitas, bukan sebagai sesuatu yang dapat dipecah-pecah. Sekarang tinggal tergantung kepada
bagaimana Anda melihat agama.
Ilmu
6.
Ilmu
adalah salah satu dari sekian banyak perbendaharaan Rahmat-Nya yang tak
terhitung. Oleh karena itulah, ilmu itu bersifat gaib[3].
Apakah yang gaib itu bisa dicari di sekolah-sekolah formal dan/atau informal?
Jawabnya jelas tidak! Maka saya heran, ketika beberapa di antara Anda memperebutkan
kesempatan memperoleh “ilmu” itu sampai tega menginjak kaki dan membangun jarak
dengan saudaranya sendiri. Hal ini terjadi karena, sekurang-kurangnya
disebabkan oleh 4 hal: (a) tidak tahu bahwa ilmu itu tidak bisa dicari, dan (b)
ada niat jahat yang melatar belakangi keinginannya meraih ilmu, dan (c)
membayangkan karir yang lebih baik, tentunya juga duit yang lebih banyak kelak,
dan (d) prestise semata.
Sesungguhnya ilmu itu terletak, atau
tepatnya diletakkan di qalbu siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan bukan di qalbu orang-orang yang
menginginkan ilmu. Mari saya tunjukkan bukti.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin
al-As r.a katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Allah s.w.t
tidak mengambil ilmu Islam itu dengan cara mencabutnya dari manusia. Sebaliknya
Allah s.w.t mengambilnya dengan mengambil para ulama sehingga tidak tertinggal
walaupun seorang…….(sampai selesai).
Diriwayatkan oleh Abu Musa r.a katanya:
Nabi s.a.w bersabda: Perumpamaan Allah Azza Wa Jalla mengutusku menyampaikan
petunjuk dan ilmu adalah seperti tetesan hujan yang membasahi bumi. Maka
sebagian bumi tersebut menjadi subur tanahnya sehingga dapat menyerap air serta
menumbuhkan rerumputan dan sebagian lagi berupa tanah-tanah keras yang dapat
menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat
meneguk air, memberi minum dan menggembala ternaknya di tempat itu. Ada juga
tetesan air hujan tersebut jatuh di tanah yang lain, yaitu tanah gersang yang
sama sekali tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan
rumput…..(sampai selesai).
Mari kita tarik inferensi dari kedua hadist di atas:
a.
Ilmu itu bukan yang ada di dalam pikiran, dan oleh karena itu hafalan bukanlah
ilmu, melainkan residunya pikiran. Pada hadist di atas tampaknya Nabi ingin
mengatakan, “Boleh jadi Anda menghafal seluruh buku-buku di dunia, tetapi
hafalan itu bukanlah ilmu. Karena ilmu melekat pada seorang manusia. Oleh
karena itu, ilmu itu hilang bersama berpulangnya seorang manusia berilmu
(ulama) ke Hadirat-Nya. Kalau ilmu terletak di dalam pikiran, tentu Anda bisa
mewarisinya melalui buku-buku para ulama itu. Padahal kalau Tuhan hendak
mencabut ilmu (agama) dari dunia ini bukan dengan menghilangkannya dari
(ingatan) manusia, dan juga bukan dengan melenyapkan buku-buku dari permukaan
bumi”.
b.
Ilmu itu hidup, menghidupkan dan kreatif, sebab ia datang dan diletakkan di dalam
dada Anda dari yang Maha Hidup dan Maha Kreatif. Oleh karena itu, ciri orang
berilmu itu hidup, menghidupkan dan kreatif. Orang berilmu itu tumbuh dan
menumbuhkan.
Mengapa Barat lebih maju?
7.
Karena
orang Barat lebih konsekuen dengan agamanya. Apa agama mereka? Agama mereka
adalah rasionalisme, dan tuhannya materi, meskipun mereka tidak menganggapnya
demikian. Ya, mereka itu sangat konsentrasi, sangat khusuk dari saat ke saat
dalam mengabdi kepada tuhannya. Ketahuilah, bahwa siapa Anda, tergantung kepada
agama Anda, tergantung keyakinan-keyakinan Anda, dan itulah yang menggerakkan
Anda dalam bekerja dan berperilaku. Tentu saja kemudian, saya kira Tuhan yang
menurunkan Al-Qur’an, lebih menyukai orang Barat yang konsekuen itu, ketimbang
kepada kita yang (maaf) munafik. Ya, karena Dia sudah berjanji akan meluluskan
permintaan hamba-Nya yang mana pun, tidak pandang apakah mereka itu murtad atau
tidak. Lihatlah, (a) di masjid sholat, di kantor jorupsi, (b) disuruh menjalin
silaturrahmi, malah memutuskan, (c) “Akulah yang Maha Haq/benar” Firman-Nya,
malah masing-masing kita merasa paling benar, dst.
Mungkin saja Malaikat lalu bingung dan
bertanya-tanya, “Sebenarnya agama dan tuhan Anda ini yang mana sih. Kok
pagi kedelai, sore tempe?”
Yang saya lakukan dan seharusnya kita lakukan
8.
Yang
saya lakukan sebenarnya hanya sekadar mengajukan “model” yang pada prinsipnya
segala sesuatu aktivitas kita kembalikan kepada agama, baik itu bekerja,
“merasa”, berpikir, berbicara, mendengar, diam, memimpin, menjadi bawahan, dst.
Beberapa hal perlu saya tekankan:
a.
Saya
berasumsi bahwa Anda semua adalah orang-orang yang, setidaknya, beriman kepada
Sang Khalik dan hari akhir
b.
Bagaimana
pun hebatnya model yang saya ajukan, saya tetaplah manusia biasa seperti Anda
semua. Maka perubahan, kritik, atau penggantian model yang lebih “agamis”
daripada model yang saya ajukan, tentu bukan hal yang mustahil
c. Jika Anda setuju dengan model yang saya
ajukan, maka inilah hal-hal pertama yang harus kita lakukan:
· Persaksian
pertama. Bersaksilah bahwa
tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusannya (syahadat). Ini
adalah ikrar kemerdekaan. Kita bersaksi bahwa materi itu bukan tuhan, pikiran
itu bukan tuhan, perasaan itu bukan tuhan, nafsu itu bukan tuhan, teman itu
bukan tuhan, dst. Maka kita tidak memperturutkan kehendak semuanya apabila
melanggar Kehendak-Nya.
· Amalan/aktivitas
pertama. Mulailah segala
sesuatu yang baik itu dengan basmalah, kata salah satu hadist. Ini adalah
anjuran kepada kita untuk berjanji membumikan Cinta-Nya yang di langit
menjadi mewujud di bumi.
Cinta inilah sumber dari segala sumber apa pun yang dapat kita cerap dan harus
kita lakukan. Karena Dia Mencipta juga dengan Cinta (rahman-rahim). Saya juga
ingin mengatakan: “Berpikirlah dengan kehadiran Nama-Nya di hati Anda. Karena
Dia Yang Maha Cinta, Dia pula yang Maha Pencipta. Maka Insya Allah, pikiran
Anda akan merefleksikan cinta dan penciptaan, dan bukan kebencian dan
penjiplakan”. Maka, marilah kita tumbuhkan cinta kepada manusia seluruhnya,
kepada pekerjaan, kepada air mata, gunung-gunung, mereka yang terbuang, mereka
yang berkuasa, burung yang berkicau, maling yang digebuki, dst. Karena Tuhan
juga begitu kok! Mengapa kita tidak?! Cobalah Anda perhatikan semua itu
dengan jiwa polos, tanpa menghakimi, tanpa memberi cap. Setelah itu, sekarang
jelaskan kepada saya, adakah Anda menemukan cinta di sana, di dada Anda? Tentu
Anda tidak akan menemukan keterangan semacam ini di buku mana pun di dunia.
Karena semua itu sebenarnya ada di dalam lembar-lembar qalbu Anda yang Anda
abaikan selama ini, tetapi justru terus-menerus Anda suapi dengan kepuasan
nafsu.
· Ayat
pertama. Membaca? Terus,
teruslah membaca apa saja. Tetapi “Bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang
Menciptakan”, kata Al-Qur’an. Kalau seluruh buku yang Anda baca tidak
menghasilkan cinta dan penciptaan, maka sesungguhnya Anda hanya mengumpukan
residunya ilmu, hafalan dari bacaan itu tidak lebih dari residunya pikiran.
Residu itulah yang kemudian mendorong Anda sedikit karya banyak tuntutan, dan
sifat-sifat residual lainnya.
Perhatikan, tidak ada hal baru
yang saya kemukakan. Model yang saya ajukan hanyalah membubuhkan ruh di atas
perilaku kita selama ini. Dan ruh itu adalah ruh agama. Insya Allah.
[1] Tentu dosa jariyah saya
yang peling kecil daripada Anda. Bahkan, setelah saya mengingatkan Anda dengan
tulisan ini, maka dosa saya diampuni-Nya (Insya Allah)
[2] Dari sumber yang bisa
dipercaya, si bule menyatakan penilaiannya itu ketika dilakukan evaluasi
kinerja Balitbu pada forum resmi di Jakarta.
[3] Bahkan pada hakikatnya
Rahmat Tuhan yang berupa benda-beda fisik itu terletak juga pada unsur
kegaibannya, yaitu yang kita kenal dengan sebutan barokah. Maka, boleh jadi
seseorang itu kaya, tetapi belum tentu kekayaannya itu berbarokah. Dan jangan
lupa, substansi benda-benda fisik itu pun sebenarnya juga bersifat gaib. Sebab
substansi benda-benda fisik adalah energi. Ataukah ada di antara Anda yang
pernah melihat energi? Benda-benda fisik yang dapat kita lihat dengan mata
telanjang itu hanya derivat dari energi. Singkat kata, seluruh benda itu adalah
energi, dan energi adalah gaib meskipun kita dapat “merasakan” keberadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar