Singkat kata, pikiran
adalah alat bantu kita dalam menjalani praktik kehidupan ini.
1. Satu pertanyaan yang menarik
dan layak kita ajukan kemudian adalah, apa yang kita harapkan dari bantuan
pikiran itu? Saya jawab saja, tidak lain adalah kemajuan. Dengan kata lain,
kita anggap saja seluruh kemajuan manusia saat ini adalah berkat bantuan
pikiran.
2. “Benarkah seluruh
kemajuan manusia bersumberkan dari pikiran? Atau, mampukah pikiran manusia
membikin kemajuan?”
3. Tunggu dulu, “Apakah
kemajuan itu?”
Kalau pendapatan Anda
bulan lalu 1 juta rupiah, lalu berkat bantuan pikiran Anda, bulan ini menjadi 2
juta rupiah, apakah itu kita sebut kemajuan? Kalau ya, bagaimana jika bersamaan
dengan itu kebutuhan Anda berlipat 3 kali?
4. Kalau begitu, bagaimana
kalau begini saja: kalau pendapatan Anda naik 2 kali lipat dan kebutuhan Anda
tetap atau bahkan turun, itu baru kemajuan bukan?
5. Jadi, “Apakah kemajuan
itu?”
Kemajuan, dalam contoh
kasus pendapatan itu adalah, berkurangnya jarak antara kemampuan (pendapatan)
dengan kebutuhan bukan?. Ya, akan lebih baik kalau pendapatan Anda bergerak
jauh lebih cepat dari kebutuhan Anda tentunya. Kalau kita tarik garis yang
lebih umum, maka kemajuan adalah berkurangnya jarak antara “yang seharusnya
(kebutuhan)” dengan “apa adanya atau kenyataannya (pendapatan)”. Tentu, kalau
bisa, “kenyataan” bergerak lebih cepat dari “yang seharusnya”.
…pikiran adalah
alat bantu kita dalam menjalani praktik kehidupan ini .
Era
global…persaingan bebas menjadi ciri khasnya. Kalau dalam persaingan kita
menggunakan cara jiplakan dari “musuh” kita, mungkinkah kita dapat
memenangkan persaingan? Jawabnya jelas, tidak bisa! Dus, yang harus kita lakukan
adalah mencipta bukan?
|
Kita sudah menjawab
pertanyaan apa itu kemajuan. Sekarang, mampukah pikiran[1]
manusia membikin kemajuan? Apakah Anda termasuk orang yang percaya bahwa
pikiran mampu menciptakan kemajuan? Mari kita buktikan dengan jalan
mengajukan persoalan yang up to date
kepada pikiran berikut ini.
Era global, salah satu
pengertiannya adalah era dimana batas geografis antar negara nyaris tak
relevan lagi. Persaingan bebas akan menjadi ciri khasnya. Kalau dalam persaingan
kita menggunakan cara jiplakan dari “musuh” kita[2],
mungkinkah kita dapat memenangkan persaingan? Jawabnya jelas, tidak bisa!
Meskipun begitu, coba Anda perhatikan, tidakkah Anda sadar, bahwa sejak Anda
bangun tidur sampai dengan mau tidur lagi, cara Baratlah yang Anda terapkan
bukan? Oleh karena segala segi kehidupan kita meniru Barat, maka sekarang kita
dipermainkan oleh Barat. Dus, yang harus kita lakukan adalah mencipta bukan?
Ya, mencipta atau berkreasi, itulah kata kuncinya. Kalau kita
tarik lebih umum lagi, kita musti menjadi mandiri dalam pengertian yang
seluas-luasnya, personal maupun institusional. Tentu bukan dalam pengertian
penciptaan yang sama sekali baru, meskipun juga tidak menutup kemungkinan yang
demikian. Ini perlu kerja-cerdas (kerja-cerdas!) dan keikhlasan kita. Karena penciptaan/kreasi tidak
memerlukan biaya kecuali keikhlasan. Kita juga musti sabar, karena hasilnya
mungkin baru bisa dinikmati oleh anak cucu kita.
Kembali
kepada pertanyaan sebelumnya, apakah pikiran manusia mampu menciptakan
kemajuan? Mari kita lihat, benda macam apakah sebenarnya pikiran itu sehingga
kita begitu bergantung kepadanya? Pikiran itu mempunyai beberapa sifat berikut
ini.
PIKIRAN ITU MENGUMPULKAN
Ketika
seorang bayi sudah bisa mengucapkan satu-dua kata yang diajarkan kedua
orangtuanya, kata yang paling mudah diucapkannya biasanya kata pa-pa atau
ma-ma. Maka setiap kali dia melihat benda bergerak, dipanggilnya pa-pa atau
ma-ma. Begitulah seorang bayi mengulang apa yang dia cerap dari luar. Contoh sederhana
itu memberikan gambaran kerja pikiran yakni :
a. Sebuah tindakan adalah ungkapan ulangan (dalam
hal ini berbentuk kata-kata) dari ingatan/memori dalam pikiran
b. Tindakan itu disimpan dalam pikiran yang
bersumber dari pengalaman. Jelasnya adalah pengalaman yang berupa “ajaran” dari
luar (kedua orangtua).
Seorang dewasa, bahkan seorang profesor sekalipun sebenarnya
hanya bisa mengulang pengalamannya, baik dari mendengar, melihat maupun
membaca. Jadi, berpikir berarti mengulang pengalaman yang lalu.
…ketika Anda
berlogika, Anda tidak sedang berpikir, melainkan meniru orang lain berpikir
… berpikir dalam pengertian konvensional mustahil dapat mencipta
|
Gejala seperti digambarkan di atas sebenarnya berlaku
pula pada orang dewasa sekalipun, setinggi apapun tingkat pendidikannya.
Seorang dewasa, bahkan seorang profesor sekalipun sebenarnya hanya bisa
mengulang pengalamannya, baik dari mendengar, melihat maupun membaca. Jadi, berpikir
berarti mengulang pengalaman yang lalu.
Anda tentu mengenal
istilah rasional dan logis. Itulah 2 jalan pikiran manusia. Ketahuilah, bahwa
kemampuan kita ber-“rasio” dan berlogika pun, sesungguhnya hasil penumpukan
memori itu juga. Jadi, ketika Anda berlogika, Anda tidak sedang berpikir,
melainkan meniru orang lain berpikir. Anda menggunakan 2 jalan pikiran itu
setelah Anda diberi tahu guru-guru Anda atau dari buku-buku. Selanjutnya, dua
jalan pikiran itu menjadi penjara bagi pikiran itu sendiri. Pikiran Anda tidak
bisa menjawab apa yang tidak pernah dialaminya.
Analogi
sempurna dari kemampuan pikiran yang hanya menumpuk memori itu adalah piranti
komputer. Kalau komputer diisi memori program atau “diajari” bahwa 1 + 2 = 3,
maka kalau kita tanya 2 + 2 itu berapa, pasti komputer akan menjawab: “Tidak
tahu”. Atau malah menyalahkan kita, “Anda salah memasukkan data!”, katanya. Ya,
komputer itu dungu. Dan manusia yang hanya bisa mengulang apa yang dialaminya,
itu juga……….(maaf) dungu.
Untuk lebih jelasnya,
mari kita ikuti dialog berikut ini:
Guru : "Badu, lihat pesemaian jeruk, dan siram
supaya tumbuh dengan baik"
Badu : "Badu, lihat pesemaian jeruk, dan siram
supaya tumbuh dengan baik".
Guru : ......
???
Jadi, berpikir dalam pengertian konvensional mustahil
dapat mencipta.
PIKIRAN ITU BERGANTUNG
…karena pikiran
tidak bisa “melihat”, maka ia tidak bisa mengetahui. Dan karena pikiran tidak
bisa mengetahui, maka ia tidak akan mampu mencipta
|
Pikiran
tidak bisa mengumpulkan langsung pengalaman dari luar dirinya. Ini sudah jelas.
Untuk mengumpulkan pengalaman, pikiran banyak bergantung terutama kepada mata
dan telinga. Jadi pikiran itu sendiri adalah suatu piranti yang buta, tidak
bisa melihat. Berdasarkan prinsip usul fiqih Al-Asy’ari, maka sesuatu yang
tidak bisa melihat mustahil bisa mengetahui (berilmu), dan sesuatu yang tidak
bisa mengetahui mustahil mampu mencipta. Jadi, karena pikiran tidak bisa
“melihat”, maka ia tidak bisa mengetahui. Dan karena pikiran tidak bisa mengetahui, maka ia tidak
mampu mencipta.
Sampai
di sini Anda tentunya mulai mengerti, bahwa dalam hal penciptaan, pikiran tidak
dapat diandalkan bukan?. Jelas?!
PIKIRAN ITU MENGIRA
Katakan
saja, saya meletakkan sebuah batu di atas meja. Sekarang, pandanglah batu itu
beberapa saat, lalu pejamkan mata Anda. Masih adakah “gambaran” batu itu di
benak Anda? Ya, tentu masih ada.
Masih dalam keadaan mata
Anda terpejam, tanpa sepengetahuan Anda, batu itu saya geser letaknya. Sekarang
katakan pada saya, bagaimana keadaan batu itu?
Pikiran
mustahil bisa mengetahui pergeseran letak batu itu. Paling ia hanya
mengira-ngira berdasarkan “gambaran” yang masih ada di dalam memorinya. Jadi,
berpikir itu pada hakikatnya mengira bahwa sesuatu itu ada, mengira bahwa
sesuatu itu benar. Dengan kata lain, berpikir itu berarti berspekulasi.
…berpikir itu
pada hakikatnya mengira bahwa sesuatu itu ada, mengira bahwa sesuatu itu
benar. Dengan kata lain, berpikir itu berarti berspekulasi .
Barang yang
kapasitasnya hanya berspekulasi, mungkinkah dapat menciptakan? Bukankah
kalau demikian, pikiran itulah problem kita?
|
Barang
yang kapasitasnya hanya berspekulasi mungkinkah dapat menciptakan? Bukankah
kalau demikian, pikiran itulah problem kita?
Kita
akan bertemu lagi pada lain bagian untuk sifat pikiran yang tidak mampu
mencerap fakta itu.
[1] Untuk sementara Anda harus mengartikan pikiran sebagaimana
pengertian Anda selama ini, yaitu mengumpukan hafalan
[2] Sejauh ini saya merasakan adanya keanehan, mengapa kita tidak
pernah menyinggung “musuh” saingan kita nanti. Bukankah nanti basis balit
adalah bisnis?. Mungkin karena selama ini kita merasa paling hebat tanpa
saingan dalam soal teknologi. Meskipun tentu saja dalam pengertian
mempersoalkan teknologi, dan bukan menghasilkan teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar