Laman

Kamis, 09 Februari 2012

04 - Sifat Pikiran



Singkat kata, pikiran adalah alat bantu kita dalam menjalani praktik kehidupan ini.
1.   Satu pertanyaan yang menarik dan layak kita ajukan kemudian adalah, apa yang kita harapkan dari bantuan pikiran itu? Saya jawab saja, tidak lain adalah kemajuan. Dengan kata lain, kita anggap saja seluruh kemajuan manusia saat ini adalah berkat bantuan pikiran.
2.   “Benarkah seluruh kemajuan manusia bersumberkan dari pikiran? Atau, mampukah pikiran manusia membikin kemajuan?”
3.   Tunggu dulu, “Apakah kemajuan itu?”
Kalau pendapatan Anda bulan lalu 1 juta rupiah, lalu berkat bantuan pikiran Anda, bulan ini menjadi 2 juta rupiah, apakah itu kita sebut kemajuan? Kalau ya, bagaimana jika bersamaan dengan itu kebutuhan Anda berlipat 3 kali?
4.   Kalau begitu, bagaimana kalau begini saja: kalau pendapatan Anda naik 2 kali lipat dan kebutuhan Anda tetap atau bahkan turun, itu baru kemajuan bukan?
5.   Jadi, “Apakah kemajuan itu?”
Kemajuan, dalam contoh kasus pendapatan itu adalah, berkurangnya jarak antara kemampuan (pendapatan) dengan kebutuhan bukan?. Ya, akan lebih baik kalau pendapatan Anda bergerak jauh lebih cepat dari kebutuhan Anda tentunya. Kalau kita tarik garis yang lebih umum, maka ke­majuan adalah berkurangnya jarak antara “yang seharusnya (kebutuhan)” dengan “apa adanya atau kenyataannya (pendapatan)”. Tentu, kalau bisa, “kenyataan” bergerak lebih cepat dari “yang seharusnya”.

…pikiran adalah alat bantu kita dalam menjalani praktik kehidupan ini .

Era global…persaingan bebas menjadi ciri khasnya. Kalau dalam persai­ngan kita menggunakan cara jiplakan dari “musuh” kita, mungkinkah kita dapat memenangkan persaingan? Jawabnya jelas, tidak bisa! Dus, yang harus kita laku­kan adalah mencipta bukan?


Kita sudah menjawab pertanyaan apa itu kemajuan. Sekarang, mampukah pikiran[1] manusia membikin kemajuan? Apakah Anda termasuk orang yang percaya bahwa pikiran mampu men­cip­takan kemajuan? Mari kita buktikan dengan jalan mengajukan persoalan yang up to date kepada pikiran berikut ini.
Era global, salah satu pengertiannya adalah era dimana batas geografis antar negara nya­ris tak relevan lagi. Persaingan bebas akan menjadi ciri khasnya. Kalau dalam persaingan kita menggunakan cara jiplakan dari “musuh” kita[2], mungkinkah kita dapat memenangkan persaingan? Jawabnya jelas, tidak bisa! Meskipun begitu, coba Anda perhatikan, tidakkah Anda sadar, bahwa sejak Anda bangun tidur sampai dengan mau tidur lagi, cara Baratlah yang Anda terapkan bukan? Oleh karena segala segi kehidupan kita meniru Barat, maka sekarang kita dipermainkan oleh Barat. Dus, yang harus kita lakukan adalah mencipta bukan?
Ya, mencipta atau berkreasi, itulah kata kuncinya. Kalau kita tarik lebih umum lagi, kita musti menjadi mandiri dalam pengertian yang seluas-luasnya, personal maupun institusional. Tentu bukan dalam pengertian penciptaan yang sama sekali baru, meskipun juga tidak menutup kemungkinan yang demikian. Ini perlu kerja-cerdas (kerja-cerdas!) dan keikhlasan kita. Karena penciptaan/kreasi tidak memerlukan biaya kecuali keikhlasan. Kita juga musti sabar, karena hasilnya mungkin baru bisa dinikmati oleh anak cucu kita.
            Kembali kepada pertanyaan sebelumnya, apakah pikiran manusia mampu mencipta­kan kemajuan? Mari kita lihat, benda macam apakah sebenarnya pikiran itu sehingga kita begitu bergantung kepadanya? Pikiran itu mempunyai beberapa sifat berikut ini.


PIKIRAN ITU MENGUMPULKAN
           
            Ketika seorang bayi sudah bisa mengucapkan satu-dua kata yang diajarkan kedua orangtuanya, kata yang paling mudah diucapkannya biasanya kata pa-pa atau ma-ma. Maka setiap kali dia melihat benda bergerak, dipanggilnya pa-pa atau ma-ma. Begitulah seorang bayi mengulang apa yang dia cerap dari luar. Contoh sederhana itu memberikan gambaran kerja pikiran yakni :
a.  Sebuah tindakan adalah ungkapan ulangan (dalam hal ini berbentuk kata-kata) dari ingatan/memori dalam pikiran
b.  Tindakan itu disimpan dalam pikiran yang bersumber dari pengalaman. Jelasnya adalah pengalaman yang berupa “ajaran” dari luar (kedua orangtua).

Seorang dewasa, bahkan seorang profesor sekalipun sebenarnya hanya bisa mengulang pengalamannya, baik dari mendengar, melihat maupun membaca. Jadi, berpikir berarti mengulang pengalaman yang lalu.
…ketika Anda berlogika, Anda tidak sedang berpikir, melain­kan meniru orang lain berpikir
… berpikir dalam pengertian konvensional mustahil dapat mencipta
            Gejala seperti digambarkan di atas sebenarnya berlaku pula pada orang dewasa sekalipun, setinggi apapun tingkat pendidikannya. Seorang dewasa, bahkan seorang profesor sekalipun sebenarnya hanya bisa mengulang pengalamannya, baik dari mendengar, melihat maupun membaca. Jadi, berpikir berarti mengulang pengalaman yang lalu.
Anda tentu mengenal istilah rasional dan logis. Itulah 2 jalan pikiran manusia. Ketahuilah, bahwa kemampuan kita ber-“rasio” dan berlogika pun, sesungguhnya hasil penumpukan memori itu juga. Jadi, ketika Anda berlogika, Anda tidak sedang berpikir, melainkan meniru orang lain berpikir. Anda menggunakan 2 jalan pikiran itu setelah Anda diberi tahu guru-guru Anda atau dari buku-buku. Selanjutnya, dua jalan pikiran itu menjadi penjara bagi pikiran itu sendiri. Pikiran Anda tidak bisa menjawab apa yang tidak pernah dialaminya.
            Analogi sempurna dari kemampuan pikiran yang hanya menumpuk memori itu adalah piranti komputer. Kalau komputer diisi memori program atau “diajari” bahwa 1 + 2 = 3, maka kalau kita tanya 2 + 2 itu berapa, pasti komputer akan menjawab: “Tidak tahu”. Atau malah menyalahkan kita, “Anda salah memasukkan data!”, katanya. Ya, komputer itu dungu. Dan manusia yang hanya bisa mengulang apa yang dialaminya, itu juga……….(maaf) dungu.
Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti dialog berikut ini:
Guru : "Badu, lihat pesemaian jeruk, dan siram supaya tumbuh dengan baik"
Badu : "Badu, lihat pesemaian jeruk, dan siram supaya tumbuh dengan baik".
Guru : ...... ???
            Jadi, berpikir dalam pengertian konvensional mustahil dapat mencipta.


PIKIRAN ITU BERGANTUNG


…karena pikiran tidak bisa “melihat”, maka ia tidak bisa mengetahui. Dan karena pikiran tidak bisa mengetahui, maka ia tidak akan mampu mencipta
            Pikiran tidak bisa mengumpulkan langsung pengalaman dari luar dirinya. Ini sudah jelas. Untuk mengumpulkan pengalaman, pikiran banyak bergantung terutama kepada mata dan telinga. Jadi pikiran itu sendiri adalah suatu piranti yang buta, tidak bisa melihat. Berdasarkan prinsip usul fiqih Al-Asy’ari, maka sesuatu yang tidak bisa melihat mustahil bisa mengetahui (berilmu), dan sesu­atu yang tidak bisa mengetahui mustahil mampu mencipta. Jadi, karena pikiran tidak bisa “melihat”, maka ia tidak bisa mengetahui. Dan karena pikiran tidak bisa mengetahui, maka ia tidak mampu mencipta.
            Sampai di sini Anda tentunya mulai mengerti, bahwa dalam hal penciptaan, pikiran tidak dapat diandalkan bukan?. Jelas?!


PIKIRAN ITU MENGIRA

            Katakan saja, saya meletakkan sebuah batu di atas meja. Sekarang, pandanglah batu itu beberapa saat, lalu pejamkan mata Anda. Masih adakah “gambaran” batu itu di benak Anda? Ya, tentu masih ada.
Masih dalam keadaan mata Anda terpejam, tanpa sepengetahuan Anda, batu itu saya geser letaknya. Sekarang katakan pada saya, bagaimana keadaan batu itu?
            Pikiran mustahil bisa mengetahui pergeseran letak batu itu. Paling ia hanya mengira-ngira berdasarkan “gambaran” yang masih ada di dalam memorinya. Jadi, berpikir itu pada hakikatnya mengira bahwa sesuatu itu ada, mengira bahwa sesuatu itu benar. Dengan kata lain, berpikir itu berarti berspekulasi.
…berpikir itu pada hakikatnya mengira bahwa sesuatu itu ada, mengira bahwa sesuatu itu benar. Dengan kata lain, berpikir itu berarti berspeku­lasi .
Barang yang kapasitasnya hanya berspekulasi, mungkin­kah dapat menciptakan? Bukankah kalau demikian, pikiran itulah problem kita?
            Barang yang kapasitasnya hanya berspekulasi mungkin­kah dapat menciptakan? Bukankah kalau demikian, pikiran itulah problem kita?

             Disamping ketiga sifat pikiran tersebut, ada satu hal yang menjadi kelemahan pikiran, yaitu PIKIRAN TIDAK MAMPU MENCERAP FAKTA. Pikiran manusia mustahil mampu mencerap fakta secara keseluruhan sekaligus. Dalam dunia akademik, hal ini dibuktikan oleh dipilah-pilahnya ilmu menjadi beberapa disiplin ilmu. Dalam hal ini sebenarnya saya tidak begitu yakin, apakah hal ini disebabkan semata oleh kapasitas pikiran yang terbatas, ataukah karena sifat pikiran yang cenderung memilah (analitis) dan tidak mampu meramu (sintesis). Ya, kita ini (dengan berpikir konvensional) paling pandai menganalisis, tetapi tidak pandai mensintesis. Kita paling peduli dengan masalah-masalah rinci, tetapi tidak suka yang substansial. Oleh karena itulah yang paling menonjol pada setiap diskusi adalah penemuan kambing hitam. Tentu saja begitu, karena kalau kita berbicara substansial, maka kambing hitamnya adalah kita semua bukan?.
            Kita akan bertemu lagi pada lain bagian untuk sifat pikiran yang tidak mampu mencerap fakta itu.


[1] Untuk sementara Anda harus mengartikan pikiran sebagaimana pengertian Anda selama ini, yaitu mengumpukan hafalan
[2] Sejauh ini saya merasakan adanya keanehan, mengapa kita tidak pernah menyinggung “musuh” saingan kita nanti. Bukankah nanti basis balit adalah bisnis?. Mungkin karena selama ini kita merasa paling hebat tanpa saingan dalam soal teknologi. Meskipun tentu saja dalam pengertian mempersoalkan teknologi, dan bukan menghasilkan teknologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar