Laman

Kamis, 09 Februari 2012

05 - STATUS PIKIRAN: Berpikir yang seharusnya



Ketika tujuan telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas sudah tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju tujuan?
…masih ada satu hal yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu
…berpikir yang berpikir adalah hanya seba­gian dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada saat kita berpikir, sesungguh­nya disitu tengah berlangsung pula aktivitas qalbu dan (fisiologi) tubuh
            Dari segi ilmu tubuh manusia, khususnya kedokteran, fungsi pikiran, dalam hal ini otak, telah banyak diketahui, yakni sumber penggerak organ tubuh, baik yang kita gerakkan secara sadar (berjalan, berbicara, mendengar, dst.) maupun yang bergerak secara tidak sadar (detak jantung, kedipan mata, gerak reflek, dst.). Namun sebenarnya fungsi otak itu sendiri masih diliputi oleh banyak misteri. Benarkah otak, atau pikiran yang membuat kita bergerak? Pertanyaan ini makin penting terutama untuk “gerakan” atau keputusan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikan, otakkah yang menyuruh kita “bergerak” marah, misalnya? Cobalah pikirkan, kalau Anda dicubit tentu sakit bukan? Lalu, rasa sakit itu apa? Dapatkah pikiran kita menjelaskannya?
            Ketika tujuan telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas sudah tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju tujuan? Ini juga misteri. “Tidakkah Anda memikirkannya?”, kata kitab suci. Maka ijinkanlah saya meloncat langsung kepada jawabannya, “Ya, masih ada satu hal yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu”. Saya katakan “meloncat” karena  saya tidak bisa membuktikan logikanya. Singkat kata, gerakan manusia berlangsung melalui proses: qalbu ® pikiran ® anggota badan. Dari sinilah kemudian saya sampai kepada ungkapan-ungkapan keraguan saya terhadap kinerja pikiran Anda: “Saya tidak yakin apakah ada di antara Anda yang benar-benar-benar bisa berpikir …….”.
Di sinilah letak persoalannya! Jadi, patut kita sadari, bahwa berpikir yang berpikir adalah tidak meninggalkan qalbu. Berpikir yang berpikir hanyalah sebagian dari satu proses yang rumit.
Sayangnya, qalbu hari ini, laksana anak tiri yang kita kucilkan di sudut-sudut kesadaran kita. Apa akibatnya? Mari saya kiaskan, misalnya qalbu itu Anda, pikiran dan tubuh adalah anggota keluarga Anda yang lain. Cobalah Anda rasakan, Anda itu ada, tetapi dianggap tidak ada atau dikucilkan oleh kedua anggota keluarga yang lain. Pastilah, cepat atau lambat, Anda akan membina diri menjadi perongrong bukan? Ya, qalbu itu tidak bisa ditiadakan. Ia adalah sesuatu yang bebas. Ia pula yang menampung persaksian ketika ruh ditiupkan ke dalam tubuh: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, firman Tuhan. Sang ruh menjawab: “Ya, aku bersaksi, Engkau Tuhanku”.
            Persoalan ini memang agak rumit, sehingga saya tidak begitu yakin apakah saya telah berhasil menjelaskannya dengan benar!? Saya harap, sekurangnya Anda sepakat dengan saya, bahwa qalbu atau ruh itu ada, disamping pikiran dan tubuh kita.
            Saya ingin menekankan sekali lagi, bahwa berpikir yang berpikir adalah hanya seba­gian dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada saat kita berpikir, sesungguhnya disitu tengah berlangsung pula aktivitas qalbu dan (fisiologi) tubuh. Maka membina atau mengasah pikiran, haruslah berarti mengasah qalbu pula. Mengasah pikiran dapat membuat “pandangan” kita menjadi tajam, dan mengasah qalbu dapat membuat “pandangan” kita menjadi peka[1]. Inilah sosok paripurna yang saya dambakan lahir dari salah seorang atau banyak orang di antara kita. Sosok yang bermental juara. Bukan sosok yang bermental pengemis, rendah diri dan tak berkarakter. Ya, kita memerlukan orang yang tajam dan peka sekaligus. Di lingkungan kita sudah terlalu banyak orang yang tajam pikirannya, tetapi tidak peka qalbunya. Maka kacaulah segala urusan. Dan hilanglah manfaat dari ilmu yang dimilikinya[2].
            Sekarang mari kita coba lihat bagaimana qalbu, pikiran dan tubuh kita berhubungan dan bekerja sama dalam membentuk perilaku kita (Gambar 1).



Saya anggap bahwa Gambar 1 telah secara jelas melukiskan bagaimana proses terbentuk­nya ekspresi perilaku manusia. Beberapa catatan masih perlu saya tambahkan dari gambar di atas, yaitu:
1.   Apa yang kita sebut qalbu pada umumnya tidak diakui sebagai pembentuk awal sebuah ekspresi atau kinerja perilaku kita. Sekurang-kurangnya, jarang sekali orang menyebut demikian. Qalbu selalu hanya dikaitkan dengan kegiatan pengajian agama di mushollah, surau atau masjid, dan tidak di lingkungan kerja yang memerlukan aktivitas pikiran dan/atau tubuh. Saya harap Anda sependapat dengan saya, bahwa inilah kesalah-pandangan yang paling fatal.
2.   Qalbu adalah bagian yang paling merdeka, bebas, tidak bisa dibentuk oleh apa pun, tetapi ia bisa disugesti (disarankan) oleh unsur di luarnya. Oleh karena itulah, ketika Anda melakukan hal yang melanggar moral misalnya, meskipun Anda berhasil mengajukan justifikasi yang paling rasional sekalipun, qalbu Anda mungkin akan tertidur, akan tetapi ia tetap meronta-ronta sambil berbisik: “Anda salah. Anda salah. Anda salah”. Memang bisikan itu bisa keras, tetapi juga bisa sangat halus. “Manusia menyaksikan sendiri kemungkaran­nya”, kata Al-Qur’an. Ya, manusia “menyaksikan” sendiri bisikan qalbunya. Dan manusia tak menghiraukannya.
3.   Dari gambar itu pula dilukiskan, bahwa pandangan konvensional, tidak akan membawa kita ke mana ke mana. Kita hanya akan berputar-putar tanpa kemajuan, tanpa hasil. Ya, karena kita terjebak di dalam lingkaran dunia alias lingkaran syetan. Sekarang Anda dapat membayangkan, apa artinya penjiplakan yang kita lakukan selama ini. Ya, berpusar di lingkaran syetan
4.   Pusaran yang baik adalah pusaran revolusi dan evolusi sekaligus, seperti halnya jagad raya berpusar. Begitu seterusnya, sehingga hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Seandainya hari ini sama saja dengan hari kemarin, sesungguhnya manusia sudah dalam keadaan merugi. Ya, tentu saja, pusaran jagad raya itu pun masih tetap mempunyai ciri terbatas. Ingatlah, bahwa segala pusaran makhluk dibatasi oleh Kemaha Besaran Sang Khalik
5.   Tak ada syarat lain dari pusaran ideal itu kecuali Petunjuk-Nya
6.   Dan oleh karena itu, satu-satunya saran dari tulisan ini adalah: KEMBALILAH KEPADA AGAMA (agama dalam arti luas) secara menyeluruh (kaffah). Tidak peduli apakah agama Anda itu atheisme, materialisme, rasionalisme, atau apa pun juga. Tidak penting apakah tuhan Anda itu nafsu, syetan gundul, demit gentayangan, iblis, atau tuhan bikinan pikiran Anda, ataukah Tuhan yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW. Selagi Anda kaffah, Anda akan memperoleh apa yang Anda idamkan. Maha Suci Dia, betapa Dia tidak pilih kasih, tidak seperti kita[3]. Bahkan orang yang durhaka sekalipun akan diloloskan keinginannya, karena “Agama-Ku ini untuk seluruh umat manusia”, firman-Nya. Kalau tidak demikian, kalau tidak kaffah, selamanya kita akan tetap pandai tetapi bodoh sekaligus, sholat tetapi korup, pekerja dan pemalas sekaligus, murah senyum tetapi jahat, sedikit karya banyak tuntutan. Tentu saja akan ada bedanya antara beragama bikinan nafsu kita sendiri dengan beragama bikinan Tuhan.

Disamping keterangan di atas, ada satu gejala yang akan lebih mudah dipahami kalau kita menggunakan model dalam peristiwa kimia sebagai berikut:
Q + P + T ¬¾® E, kemudian E + S ¾® H,
Dimana Q=qalbu, P=pikiran, T=tubuh, E=ekspresi, S=sarana, H=hasil.

7.   Jadi, Q + P + T menghasilkan E (karakter/kinerja). Atau bisa dibalik, E menggambarkan orang macam apakah gerangan yang menghasilkan E itu. Keterangan ini sejalan dengan tanda anak panah bolak-balik. Perhatikan persamaan kimia kedua yang menggunakan anak panah hanya satu arah. Kalau E + S akan menghasilkan H, tetapi H itu sendiri tetap hanya menggambarkan E dan bukan E + S.
8.   Ya, H adalah gambaran karakter E (personal/teamwork). Dalam keseharian pun kita mem­benarkan pernyataan bukan? Jelasnya, kalau seseorang itu menemukan teknologi misalnya, kita katakan, “Dia berprestasi”, dan bukan, “Dia dan alat-bahannya (sarana) berprestasi”.  Maka dua persamaan di atas dapat disubstitusikan dan disederhanakan menjadi: Q + P ¬¾® H. Ya, H menggambarkan apakah manusia yang menghasilkan H itu waras pikirannya dan sehat kalbunya!
9.  Dalam peristiwa kimia kita juga mengenal gejala terbentuknya residu (R), yaitu bagian yang hilang atau keluar dari sistem persamaan (Gambar 2).

Gambar 2. Gejala pembentukan residu dalam proses kimia mental dan aktivitas manusia

10. Adalah normal (Gambar 2–A), bahwa pada setiap aktivitas kita menghasilkan residu, yaitu hal-hal yang tidak diharapkan. Residu normal dimaksud adalah residu yang bisa ditolerir terutama jika residu itu tidak terlalu merusak, dan kalau merusak dapat segera diperbaiki. Kadang-kadang residu itu justru merupakan salah satu hal yang diharapkan. Misalnya saja adanya kritik pada suatu luaran yang kita hasilkan. Kita juga mengenal adanya residu yang justru diharapkan dalam statistika (e=eror=sisaan)
11. Perhatikan Gambar 2-B, ada gejala dimana sejak awal Q yang terlibat dalam proses adalah residu (Q’). Dengan sendirinya, biasanya P-nya pun residu (P’). Maka yang dihasilkan sudah tentu residu juga (H’), selain residu “normal” yang selalu akan dihasilkan oleh sebuah proses (R’)
12. Saya ingin memberikan contoh aktual mengenai Gambar 2-B, tetapi saya harap Anda siap mendengarkannya. Begini, saya pikir, kita ini selalu saja gagal sejak awal, sejak diskusi akan dimulai. Mengapa, karena qalbu yang kita bawa ke dalam forum diskusi adalah bagian residunya. Dengan sendirinya, pemikiran yang diajukan pun residu pula. Hasilnya? Ya residu!.
13. Saya menangis (tanpa suara), sesak dada saya, ketika residu H’ itu benar-benar makin men­colok mata. Saya tahu persis, ada di antara publikasi hasil penelitian kita yang hanya berkualitas residu ilmiah, alias sampah ilmiah (H’). Setelah ditelusuri ternyata penulisnya mengajukan alasan rasional yang residual pula (P’=umur fungsionalnya kritis, katanya). Maka ijinkan saya menyitir istilah Bapak Dr. Hidajat Nataatmadja, bahwa perilaku yang demikian pantas disebut PROSTITUSI ILMIAH (Q’). Di lingkungan Badan Litbang gejala prostitusi itu sebenarnya sudah pernah disinyalir. Tetapi itu semua, secara sosiologis, adalah kehendak kita bersama (kehendak kita bersama!). Ya, kitalah residu itu, saya dan Anda semua. Dan syetan pun tertawa.
14. Kalau saya bilang residual, maka tentu ada yang substansial. Berikut ini saya ajukan model graduasi substansi dari kinerja piranti yang kita punya (Gambar 3).


Saya harap Gambar 3 sudah cukup melukiskan unsur-unsur substansial yang kemudian menga­lami degradasi sehingga menjadi residual. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hal yang saya anggap penting.
a.   Pada hakikatnya, sejak awal manusia itu menyaksikan Tuhannya ketika di alam rahim. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. “Ya, kami bersaksi, Engkau Tuhanku”, jawab kita (Al-A’raf 172). Penyaksian inilah yang akan mengantarkan manusia ke jalan yang lurus, jalannya para ulama, para orang berilmu. Dalam pengertian tertentu, Anda peneliti dapat juga disebut ulama. Sekurangnya sebagai ulamanya teknologi. Seperti ulama agama yang mengabdi kepada kemanusiaan, yaitu mengagamakan manusia, ulamanya teknologi seharusnya juga mengabdi kepada kemanusiaan. Ya, peneliti itu (kalau Anda belum tahu) pada hakikatnya mengabdi kepada manusiaan. Hanya karena alasan praktis saja kita mencukupkan diri pada batas nasionalisme. Sayangnya, justru sekarang kita dihadapkan kepada racun pahit yang akan menggiring kita menjadi semakin eksklusif, makin egois, individualis, yaitu dengan dikembangkannya paten[4]
b.   Marilah kita kembali ke pokok masalah. Membicarakan perihal ulama, saya jadi teringat dengan teman-teman peneliti yunior. Saya pernah bilang, “Anda adalah manusia biasa seutuhnya yang mempunyai tubuh, pikiran dan kalbu/hati, yang masing-masing mempunyai tuntutan kebutuhannya. Tuntutan kebutuhan yang wajar maupun yang dipaksakan, sering mereduksi keutuhan Anda sebagai manusia menjadi sekadar tubuh dan pikiran, bahkan kadang lebih sempit lagi. Dari reduksi itu terciptalah sosok yang bodoh dan pengecut seperti Anda (barangkali). Bukan bodoh dalam menghafal (menghafal!) referensi dan  juga bukan pengecut dalam urusan mencari nafkah. Bukan! Anda bodoh karena Anda lalai untuk membina kalbu Anda, kepekaan Anda untuk merasakan krisis dan kelemahan Anda”[5]
c.   Penyaksian Tuhan itulah yang akan melahirkan kreativitas. Beberapa keterangan menye­but­kan, bahwa kreasi itu muncul saat bersatunya objek dengan subjek. Ya, kreasi itu lahir saat kita “menyaksikan Sang Maha Kreatif”, saat mana dapat dikiaskan sebagai bertemunya objek (manusia) dengan tuhannya (Maha Subjek).
d.   Peniruan dan penjiplakan (D dan E) yang selama ini kita lakukan, tidak lain karena kita kufur atau bahkan menyekutukan-Nya. Maka wajar kalau kinerja tubuh (fisik) kita dapat dikategorikan malas, atau kelihatan bekerja, tetapi sesungguhnya tidak bekerja. Dengan alasan itulah saya pernah bertanya: “Ketika Anda bekerja, dapatkah Anda membedakan, apakah Anda sedang membangun ataukah sedang memupuk kehancuran?”.
e.   Menurut saya, kita wajib membina diri sehingga sekurangnya masuk ke dalam kategori C (qalbu=beriman, pikiran=memodifikasi, tubuh=bekerja pasif, semata karena disuruh, tanpa inisiatif). Meskipun tetap akan saya katakan, bahwa kita memerlukan lebih dari itu.
f.    Suasana yang kita bina bersama selama ini, bagi saya merupakan petunjuk yang sangat kuat bahwa ada yang tidak beres dengan qalbu kita. Maka kita tidak akan pernah ke mana-mana, tetap saja berkutat menangisi nasib, menjiplak, meniru, berebut tulang, dan tentu saja dengan sedikit rasa puas karena dapat melayani tuhan-tuhan bikinan pikiran kita. Ya, kita telah berhasil menciptakan NERAKA untuk diri kita sendiri. Naudzubillah.
g.   Maka seluruh buku yang Anda baca, hanya akan menjadi memori, barang hafalan belaka, tanpa membawa kemaslahatan. Dengan demikian dapat saya katakan, membaca adalah penyakit pikiran, dan menghafal adalah residu pikiran.

Setiap kali membicarakan suasana di lingkungan kita, saya memang cenderung ngelantur ke mana-mana. Betapa sulitnya mengajak Anda semua memasuki surga dunia dan menyongsong surga akhirat. Ya, karena saya tidak ingin masuk surga sendirian. Bagaimana tidak sulit, wong Anda menyak­sikan sendiri kok kemungkaran yang Anda lakukan (kata Al-Qur’an). Ini ngelantur lagi!? Baiklah kita cukupkan sekian saja bagian ini.


[1]     Peka bukan dalam arti mudah tersinggung, melainkan peka terhadap ilham dan PetunjukNya
[2]     Saya curiga, jangan-jangan yang ada dalam pikiran Anda itu bukan ilmu, tetapi sekadar hafalan. Sebab yang namanya ilmu itu biasanya digambarkan berada dalam qalbu. Kalau begitu wajar, banyaknya sarjana tidak membawa manfaat secuil pun, tidak berkorelasi dengan pemajuan. Bahkan justru menjadi salah satu sumber persoalan. Ya, ilmu yang Anda bawa itu sekarang berubah menjadi residu ilmu yang tersangkut di dalam benak Anda.
[3]     Dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa siapa yang yang menginginkan dunia, dia akan diberi. Siapa yang menginginkan akhirat dia akan diberi….
  [4]   Saya termasuk salah seorang dari segelintir orang (mungkin) yang tidak setuju dengan hak paten yang Yahudian itu.
[5]     Dicuplik dari surat saya kepada rekan-rekan peneliti yunior yang sedang dan akan melaksanakan tugas belajar (25 Juni 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar