Ketika tujuan
telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas sudah
tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju
tujuan?
…masih ada satu
hal yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu
…berpikir yang
berpikir adalah hanya sebagian dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada
saat kita berpikir, sesungguhnya disitu tengah berlangsung pula aktivitas
qalbu dan (fisiologi) tubuh
|
Dari
segi ilmu tubuh manusia, khususnya kedokteran, fungsi pikiran, dalam hal ini
otak, telah banyak diketahui, yakni sumber penggerak organ tubuh, baik yang
kita gerakkan secara sadar (berjalan, berbicara, mendengar, dst.) maupun yang
bergerak secara tidak sadar (detak jantung, kedipan mata, gerak reflek, dst.).
Namun sebenarnya fungsi otak itu sendiri masih diliputi oleh banyak misteri.
Benarkah otak, atau pikiran yang membuat kita bergerak? Pertanyaan ini makin
penting terutama untuk “gerakan” atau keputusan yang penting dalam kehidupan
sehari-hari. Perhatikan, otakkah yang menyuruh kita “bergerak” marah, misalnya?
Cobalah pikirkan, kalau Anda dicubit tentu sakit bukan? Lalu, rasa sakit itu
apa? Dapatkah pikiran kita menjelaskannya?
Ketika
tujuan telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas
sudah tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju
tujuan? Ini juga misteri. “Tidakkah Anda memikirkannya?”, kata kitab suci. Maka
ijinkanlah saya meloncat langsung kepada jawabannya, “Ya, masih ada satu hal
yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu”. Saya katakan
“meloncat” karena saya tidak bisa
membuktikan logikanya. Singkat kata, gerakan manusia berlangsung melalui
proses: qalbu ® pikiran ® anggota badan. Dari sinilah kemudian saya sampai kepada
ungkapan-ungkapan keraguan saya terhadap kinerja pikiran Anda: “Saya tidak
yakin apakah ada di antara Anda yang benar-benar-benar bisa berpikir …….”.
Di sinilah letak persoalannya! Jadi, patut kita
sadari, bahwa berpikir yang berpikir adalah tidak meninggalkan qalbu. Berpikir yang berpikir
hanyalah sebagian dari satu proses yang rumit.
Sayangnya, qalbu hari
ini, laksana anak tiri yang kita kucilkan di sudut-sudut kesadaran kita. Apa
akibatnya? Mari saya kiaskan, misalnya qalbu itu Anda, pikiran dan tubuh adalah
anggota keluarga Anda yang lain. Cobalah Anda rasakan, Anda itu ada, tetapi
dianggap tidak ada atau dikucilkan oleh kedua anggota keluarga yang lain.
Pastilah, cepat atau lambat, Anda akan membina diri menjadi perongrong bukan?
Ya, qalbu itu tidak bisa ditiadakan. Ia adalah sesuatu yang bebas. Ia pula yang
menampung persaksian ketika ruh ditiupkan ke dalam tubuh: “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?”, firman Tuhan. Sang ruh menjawab: “Ya, aku bersaksi, Engkau Tuhanku”.
Persoalan
ini memang agak rumit, sehingga saya tidak begitu yakin apakah saya telah
berhasil menjelaskannya dengan benar!? Saya harap, sekurangnya Anda sepakat
dengan saya, bahwa qalbu atau ruh itu ada, disamping pikiran dan tubuh kita.
Saya
ingin menekankan sekali lagi, bahwa berpikir yang berpikir adalah hanya sebagian
dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada saat kita berpikir, sesungguhnya
disitu tengah berlangsung pula aktivitas qalbu dan (fisiologi) tubuh. Maka
membina atau mengasah pikiran, haruslah berarti mengasah qalbu pula. Mengasah
pikiran dapat membuat “pandangan” kita menjadi tajam, dan mengasah qalbu
dapat membuat “pandangan” kita menjadi peka[1]. Inilah sosok paripurna
yang saya dambakan lahir dari salah seorang atau banyak orang di antara kita.
Sosok yang bermental juara. Bukan sosok yang bermental pengemis, rendah diri dan tak
berkarakter. Ya, kita memerlukan orang yang tajam dan peka sekaligus. Di lingkungan kita
sudah terlalu banyak orang yang tajam pikirannya, tetapi tidak peka qalbunya.
Maka kacaulah segala urusan. Dan hilanglah manfaat dari ilmu yang dimilikinya[2].
Sekarang
mari kita coba lihat bagaimana qalbu, pikiran dan tubuh kita berhubungan dan
bekerja sama dalam membentuk perilaku kita (Gambar 1).
Saya anggap bahwa Gambar
1 telah secara jelas melukiskan bagaimana proses terbentuknya ekspresi
perilaku manusia. Beberapa catatan masih perlu saya tambahkan dari gambar di
atas, yaitu:
1. Apa yang kita sebut qalbu pada umumnya tidak diakui sebagai pembentuk
awal sebuah ekspresi atau kinerja perilaku kita. Sekurang-kurangnya, jarang
sekali orang menyebut demikian. Qalbu selalu hanya dikaitkan dengan kegiatan
pengajian agama di mushollah, surau atau masjid, dan tidak di lingkungan kerja
yang memerlukan aktivitas pikiran dan/atau tubuh. Saya harap Anda sependapat
dengan saya, bahwa inilah kesalah-pandangan yang paling fatal.
2. Qalbu adalah bagian yang paling merdeka, bebas, tidak bisa dibentuk oleh
apa pun, tetapi ia bisa disugesti (disarankan) oleh unsur di luarnya. Oleh
karena itulah, ketika Anda melakukan hal yang melanggar moral misalnya,
meskipun Anda berhasil mengajukan justifikasi yang paling rasional sekalipun,
qalbu Anda mungkin akan tertidur, akan tetapi ia tetap meronta-ronta sambil
berbisik: “Anda salah. Anda salah. Anda salah”. Memang bisikan itu bisa keras,
tetapi juga bisa sangat halus. “Manusia
menyaksikan sendiri kemungkarannya”, kata Al-Qur’an. Ya,
manusia “menyaksikan” sendiri bisikan qalbunya. Dan manusia tak
menghiraukannya.
3. Dari gambar itu pula dilukiskan, bahwa pandangan konvensional, tidak akan
membawa kita ke mana ke mana. Kita hanya akan berputar-putar tanpa kemajuan,
tanpa hasil. Ya, karena kita terjebak di dalam lingkaran dunia alias lingkaran
syetan. Sekarang Anda dapat membayangkan, apa artinya penjiplakan yang kita
lakukan selama ini. Ya, berpusar di lingkaran syetan
4. Pusaran yang baik adalah pusaran revolusi dan evolusi sekaligus, seperti
halnya jagad raya berpusar. Begitu seterusnya, sehingga hari ini lebih baik
dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Seandainya hari ini sama
saja dengan hari kemarin, sesungguhnya manusia sudah dalam keadaan merugi. Ya,
tentu saja, pusaran jagad raya itu pun masih tetap mempunyai ciri terbatas.
Ingatlah, bahwa segala pusaran makhluk dibatasi oleh Kemaha Besaran Sang Khalik
5. Tak ada syarat lain dari pusaran ideal itu kecuali Petunjuk-Nya
6. Dan oleh karena itu, satu-satunya saran dari tulisan ini adalah:
KEMBALILAH KEPADA AGAMA (agama dalam arti luas) secara menyeluruh (kaffah). Tidak
peduli apakah agama Anda itu atheisme, materialisme, rasionalisme, atau apa pun
juga. Tidak penting apakah tuhan Anda itu nafsu, syetan gundul, demit
gentayangan, iblis, atau tuhan bikinan pikiran Anda, ataukah Tuhan yang telah
menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW. Selagi Anda kaffah, Anda akan
memperoleh apa yang Anda idamkan. Maha Suci Dia, betapa Dia tidak pilih kasih,
tidak seperti kita[3]. Bahkan
orang yang durhaka sekalipun akan diloloskan keinginannya, karena “Agama-Ku ini
untuk seluruh umat manusia”, firman-Nya. Kalau tidak demikian, kalau tidak
kaffah, selamanya kita akan tetap pandai tetapi bodoh sekaligus, sholat tetapi
korup, pekerja dan pemalas sekaligus, murah senyum tetapi jahat, sedikit karya
banyak tuntutan. Tentu saja akan ada bedanya antara beragama bikinan nafsu kita
sendiri dengan beragama bikinan Tuhan.
Disamping keterangan di atas, ada satu gejala yang akan lebih mudah
dipahami kalau kita menggunakan model dalam peristiwa kimia sebagai berikut:
Q + P + T ¬¾® E,
kemudian E + S ¾® H,
Dimana Q=qalbu, P=pikiran, T=tubuh, E=ekspresi, S=sarana, H=hasil.
7. Jadi, Q + P + T menghasilkan E (karakter/kinerja). Atau bisa dibalik, E
menggambarkan orang macam apakah gerangan yang menghasilkan E itu. Keterangan
ini sejalan dengan tanda anak panah bolak-balik. Perhatikan persamaan kimia
kedua yang menggunakan anak panah hanya satu arah. Kalau E + S akan
menghasilkan H, tetapi H itu sendiri tetap hanya menggambarkan E dan bukan E +
S.
8. Ya, H adalah gambaran karakter E (personal/teamwork). Dalam
keseharian pun kita membenarkan pernyataan bukan? Jelasnya, kalau seseorang
itu menemukan teknologi misalnya, kita katakan, “Dia berprestasi”, dan bukan,
“Dia dan alat-bahannya (sarana) berprestasi”.
Maka dua persamaan di atas dapat disubstitusikan dan disederhanakan
menjadi: Q + P ¬¾® H. Ya, H
menggambarkan apakah manusia yang menghasilkan H itu waras pikirannya dan sehat
kalbunya!
9. Dalam peristiwa kimia kita juga mengenal gejala terbentuknya residu (R),
yaitu bagian yang hilang atau keluar dari sistem persamaan (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala pembentukan residu dalam proses kimia mental
dan aktivitas manusia
10. Adalah normal (Gambar
2–A), bahwa pada setiap aktivitas kita menghasilkan
residu, yaitu hal-hal yang tidak diharapkan. Residu normal dimaksud adalah
residu yang bisa ditolerir terutama jika residu itu tidak terlalu merusak, dan
kalau merusak dapat segera diperbaiki. Kadang-kadang residu itu justru
merupakan salah satu hal yang diharapkan. Misalnya saja adanya kritik pada
suatu luaran yang kita hasilkan. Kita juga mengenal adanya residu yang justru
diharapkan dalam statistika (e=eror=sisaan)
11. Perhatikan Gambar 2-B, ada gejala dimana sejak awal Q yang terlibat dalam proses adalah residu
(Q’). Dengan sendirinya, biasanya P-nya pun residu (P’). Maka yang dihasilkan
sudah tentu residu juga (H’), selain residu “normal” yang selalu akan
dihasilkan oleh sebuah proses (R’)
12. Saya ingin memberikan contoh aktual mengenai Gambar 2-B, tetapi saya harap Anda
siap mendengarkannya. Begini, saya pikir, kita ini selalu saja gagal sejak
awal, sejak diskusi akan dimulai. Mengapa, karena qalbu yang kita bawa ke dalam
forum diskusi adalah bagian residunya. Dengan sendirinya, pemikiran yang
diajukan pun residu pula. Hasilnya? Ya residu!.
13. Saya menangis (tanpa suara), sesak dada saya, ketika residu H’ itu
benar-benar makin mencolok mata. Saya tahu persis, ada di antara publikasi
hasil penelitian kita yang hanya berkualitas residu ilmiah, alias sampah ilmiah
(H’). Setelah ditelusuri ternyata penulisnya mengajukan alasan rasional yang
residual pula (P’=umur fungsionalnya kritis, katanya). Maka ijinkan saya
menyitir istilah Bapak Dr. Hidajat Nataatmadja, bahwa perilaku yang demikian
pantas disebut PROSTITUSI ILMIAH (Q’). Di lingkungan Badan Litbang gejala
prostitusi itu sebenarnya sudah pernah disinyalir. Tetapi itu semua, secara
sosiologis, adalah kehendak kita bersama (kehendak kita bersama!). Ya,
kitalah residu itu, saya dan Anda semua. Dan syetan pun tertawa.
14. Kalau saya bilang residual, maka tentu ada yang substansial. Berikut ini
saya ajukan model graduasi substansi dari kinerja piranti yang kita punya (Gambar 3).
Saya harap Gambar 3 sudah cukup melukiskan unsur-unsur substansial yang kemudian mengalami
degradasi sehingga menjadi residual. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hal
yang saya anggap penting.
a. Pada hakikatnya, sejak awal manusia itu menyaksikan Tuhannya ketika di
alam rahim. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. “Ya, kami bersaksi, Engkau Tuhanku”,
jawab kita (Al-A’raf 172). Penyaksian inilah yang akan mengantarkan manusia ke
jalan yang lurus, jalannya para ulama, para orang berilmu. Dalam pengertian
tertentu, Anda peneliti dapat juga disebut ulama. Sekurangnya sebagai ulamanya
teknologi. Seperti ulama agama yang mengabdi kepada kemanusiaan, yaitu
mengagamakan manusia, ulamanya teknologi seharusnya juga mengabdi kepada
kemanusiaan. Ya, peneliti itu (kalau Anda belum tahu) pada hakikatnya mengabdi
kepada manusiaan. Hanya karena alasan praktis saja kita mencukupkan diri pada
batas nasionalisme. Sayangnya, justru sekarang kita dihadapkan kepada racun
pahit yang akan menggiring kita menjadi semakin eksklusif, makin egois,
individualis, yaitu dengan dikembangkannya paten[4]
b. Marilah kita kembali ke pokok masalah. Membicarakan perihal ulama, saya
jadi teringat dengan teman-teman peneliti yunior. Saya pernah bilang, “Anda
adalah manusia biasa seutuhnya yang mempunyai tubuh, pikiran dan kalbu/hati,
yang masing-masing mempunyai tuntutan kebutuhannya. Tuntutan kebutuhan yang
wajar maupun yang dipaksakan, sering mereduksi keutuhan Anda sebagai manusia
menjadi sekadar tubuh dan pikiran, bahkan kadang lebih sempit lagi. Dari
reduksi itu terciptalah sosok yang bodoh dan pengecut seperti Anda
(barangkali). Bukan bodoh dalam menghafal (menghafal!) referensi dan juga bukan pengecut dalam urusan mencari
nafkah. Bukan! Anda bodoh karena Anda lalai untuk membina kalbu Anda, kepekaan
Anda untuk merasakan krisis dan kelemahan Anda”[5]
c. Penyaksian Tuhan itulah
yang akan melahirkan kreativitas. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa
kreasi itu muncul saat bersatunya objek dengan subjek. Ya, kreasi itu lahir
saat kita “menyaksikan Sang Maha Kreatif”, saat mana dapat dikiaskan sebagai
bertemunya objek (manusia) dengan tuhannya (Maha Subjek).
d. Peniruan dan penjiplakan
(D dan E) yang selama ini kita lakukan, tidak lain karena kita kufur atau
bahkan menyekutukan-Nya. Maka wajar kalau kinerja tubuh (fisik) kita dapat
dikategorikan malas, atau kelihatan bekerja, tetapi sesungguhnya tidak bekerja.
Dengan alasan itulah saya pernah bertanya: “Ketika Anda bekerja, dapatkah Anda
membedakan, apakah Anda sedang membangun ataukah sedang memupuk kehancuran?”.
e. Menurut saya, kita wajib
membina diri sehingga sekurangnya masuk ke dalam kategori C (qalbu=beriman,
pikiran=memodifikasi, tubuh=bekerja pasif, semata karena disuruh, tanpa
inisiatif). Meskipun tetap akan saya katakan, bahwa kita memerlukan lebih dari
itu.
f. Suasana yang kita bina
bersama selama ini, bagi saya merupakan petunjuk yang sangat kuat bahwa ada
yang tidak beres dengan qalbu kita. Maka kita tidak akan pernah ke mana-mana,
tetap saja berkutat menangisi nasib, menjiplak, meniru, berebut tulang, dan
tentu saja dengan sedikit rasa puas karena dapat melayani tuhan-tuhan bikinan
pikiran kita. Ya, kita telah berhasil menciptakan NERAKA untuk diri kita
sendiri. Naudzubillah.
g. Maka seluruh buku yang
Anda baca, hanya akan menjadi memori, barang hafalan belaka, tanpa membawa
kemaslahatan. Dengan demikian dapat saya katakan, membaca adalah penyakit
pikiran, dan menghafal adalah residu pikiran.
[1] Peka bukan dalam arti
mudah tersinggung, melainkan peka terhadap ilham dan PetunjukNya
[2] Saya curiga, jangan-jangan
yang ada dalam pikiran Anda itu bukan ilmu, tetapi sekadar hafalan. Sebab yang
namanya ilmu itu biasanya digambarkan berada dalam qalbu. Kalau begitu wajar, banyaknya
sarjana tidak membawa manfaat secuil pun, tidak berkorelasi dengan pemajuan.
Bahkan justru menjadi salah satu sumber persoalan. Ya, ilmu yang Anda bawa itu
sekarang berubah menjadi residu ilmu yang tersangkut di dalam benak Anda.
[3] Dalam Al-Qur’an
disebutkan, bahwa siapa yang yang menginginkan dunia, dia akan diberi. Siapa
yang menginginkan akhirat dia akan diberi….
[5] Dicuplik dari surat saya
kepada rekan-rekan peneliti yunior yang sedang dan akan melaksanakan tugas
belajar (25 Juni 1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar