Laman

Sabtu, 11 Februari 2012

07 - LEBIH JAUH TENTANG STATUS PIKIRAN: Berpikir Holistik


Telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa pikiran cenderung analitis, memilah-milah, separa­tis, friktif, parsial. Sebaliknya, ia tidak mampu mencerap objek secara tuntas. Untuk itu marilah kita perhatikan Gambar 4, yang akan menggambarkan bagaimana pikiran kita berperilaku.

Gambar 4. Bayangan sebagai objek pikiran

1.   Hakikat sesuatu objek pikiran selalu bersifat tersembunyi, atau setidaknya tidak akan pernah tuntas dicerap secara menyeluruh oleh pikiran. Ya, selalu saja ada bagian yang tidak kita mengerti. Bahkan kata Imam Syafiei: “Makin banyak yang aku ketahui, makin sadarlah saya bahwa jauh lebih banyak lagi yang belum saya ketahui”. Kalau kita mengenal istilah metodologi, maka sebenarnya hanya berarti “cara logis untuk mendekati objek”, dan bukan cara mencerap objek secara tuntas
2.   Dalam konteks praktis, biasanya kita lalu membagi tugas kepada beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu misalnya. Sekarang akan saya tunjukkan, bahwa model “membagi tugas” seperti ini mengandung kelemahan atau bahaya, kalau kita tidak memahami karakter pemikiran di balik pembagian tugas itu
3.   Kembali ke gambar, apa yang kita pikirkan tentang suatu objek sebenarnya hanya “bayangannya saja”. Perhatikan, orang yang kebetulan pada posisi A akan mengatakan bahwa hakikat objek yang diamatinya adalah sebuah BOLA, sedangkan menurut orang di posisi B adalah sebuah BALOK. Padahal kita tahu bahwa hakikat objek pada gambar adalah tabung. Mari saya peragakan letak kelemahannya dengan logika matematika sederhana berikut ini:
TABUNG = BOLA + BALOK…..(?), atau BOLA + BALOK = TABUNG…..(?). Jadi kalau pikiran kedua orang itu disatukan ternyata tidak sama dengan hakikat objek itu bukan?
4.   Oleh karena pikiran tidak akan pernah mampu mencerap hakikat objek secara tuntas, maka berarti pikiran tidak akan pernah mampu berbicara perihal KEBENARAN. Pikiran hanya mampu berbicara perihal KEBETULAN. Mengambil hikmah dari gambar di atas, maka “KEBETULAN + KEBETULAN ¹ KEBENARAN” bukan? Artinya, kita tidak bisa menemukan kebenaran dengan mengumpulkan kebetulan-kebetulan.
5.   Dengan kata lain, pikiran tidak mampu melakukan VALUASI (penilaian salah-benar), pikiran hanya mampu melakukan EVALUASI (menyatakan fakta-fakta parsial).

Mungkin Anda masih agak bingung. Jangan khawatir, saya juga bingung kok. Mari kita ambil contoh lain berikut ini.
GAJAH itu haruslah sama dengan GAJAH bukan? Tetapi, sadarkah Anda bahwa jalan pikiran kita sehari-hari tidak demikian. Jalan pikiran kita mengatakan bahwa gajah itu = bulat-panjang (kaki) + pipih-lebar (kuping) + berbulu (kulit) + ...... + n.
Kalau unsur-unsur itu dijumlahkan, akankah sama dengan gajah? Pasti,......tidak bukan!? Memang, air (H2O) itu sama dengan H2 + O2. Tetapi kalau Anda haus, apakah Anda minum H2  ditambah O2? Masih bingung?. Mari kita lihat gambaran lain.
Misalnya, suatu penelitian menghendaki Anda mengukur/mengamati karakter DAUN TANAMAN RAMBUTAN. Perhatikan kata daun, tanaman dan rambutan. Dan perhatikan pula, bagaimana suasana psikis Anda saat mengamatinya.
a.  Meskipun perhatian Anda tertuju hanya kepada DAUN, tetapi pasti Anda sadar sesadar-sadarnya bahwa DAUN itu hanyalah sebagian dari bagian-organis TANAMAN, dan TANAMAN itu adalah RAMBUTAN. Oleh karena daun itu hanya sebagian organ, maka pasti ia bersangkut-paut dengan bagian-bagian lain (akar, batang, dst.). Tetapi kita bisa membedakan bahwa daun bukanlah akar, dan akar bukanlah batang. Begitulah seterusnya kesadaran Anda dari saat ke saat selama melakukan pengamatan
b.  Oleh karena itu, praktik-praktik dalam ilmu ragawi biasanya bisa lebih dijamin kebenarannya daripada ilmu non-ragawi. Sehingga, bagian-bagian yang diamati secara terpisah pun, setelah disatukan akan membangun suatu sistem konsistensi logika yang utuh. Pada contoh di atas, rangkaiannya membentuk bangun TANAMAN RAMBUTAN. Suatu bangun yang membentuk sistem konsistensi logika yang utuh, itulah fakta namanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka berlaku prinsip umum :
a.  Keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagiannya, atau
b.  Keseluruhan sama dengan keseluruhan itu sendiri (gajah = gajah).

Keseluruhan peristiwa pada contoh kasus terakhir itulah bentuk konkrit dan tuntas cara berpikir yang benar, cara berpikir holistic, menyeluruh. Hanya saja dalam hal ini menyangkut soal yang sempit, yaitu proses mental yang terjadi saat pengamatan daun rambutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar