10 - CONTOH
KASUS, IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI
PEMILAH-MILAHAN: Urusan dinas dan urusan pribadi – perasaan dan pikiran
Pada ulasan sebelumnya sudah disebutkan,
bahwa pikiran cenderung memilah-milah, memisah-misah. Ketika pilah-pilah itu
disatukan, ternyata tidak sama dengan totalitas objek yang kita pilah-pilah,
tidak factual.
Dalam keseharian, biasanya kita justru mengembangkan
prinsip pecah-belah, pemilah-milahan, sehingga ketika pilah-pilah itu
disatukan, tidak sama dengan keseluruhannya. Kepada kita biasanya dikatakan:
“Anda harus bisa MEMISAHKAN antara URUSAN DINAS dengan URUSAN PRIBADI”.
Jika memang demikian, tolong tanyakan kepada yang
mengatakannya, “Ketika Anda YANG DINAS berangkat ke kantor, dimana Anda YANG
PRIBADI disimpan? Apakah kita ini memang bisa dipilah-pilah seperti itu. Kalau
saya YANG PRIBADI + saya YANG DINAS, apakah sama dengan saya YANG MANUSIA?”.
Mungkin saja seseorang merasa sudah
meninggalkan KEPRIBADIANNYA saat bekerja. Tetapi ketahuian, bahwa KEPRIBADIAN
itu tidak pernah meninggalkannya. Karena kepribadian adalah urusan bati, urusan
qalbu. Tegasnya, Anda bisa meninggalkan qalbu, tetapi qalbu tidak akan pernah
meninggalkan Anda.
Contoh lain : “Bekerjalah dengan pikiran,
dan bukan dengan perasaan”
Kalau
yang dimaksud perasaan itu rasa sentimen misalnya, saya setuju kita harus menghindarkan
diri dari perasaan seperti itu. Tetapi ketahuilah, bahwa perasaan hanyalah
sebagian kecil dari kekayaan khazanah batiniah/qalbu kita. Jadi jelas
mengikhlaskan rasa sentimen tidak sama dengan membuang qalbu dalam pergaulan
atau dalam bekerja. Kalau qalbu harus dibuang dari lingkungan kerja, pantas saja kalau
kita ini kejam, tidak produktif, awut-awutan dan bisanya hanya meniru dan
menipu dalam bekerja.
Bagaimana
saran pemilah-milahan seperti itu bisa muncul?
Kalau
Anda bekerja dan bergaul melibatkan perasaan (qalbu) dan kepribadian Anda, maka
Anda akan bekerja penuh dedikasi, prestasi dan kreatif. Ya, bukankah dedikasi,
prestasi dan kreasi itu bersumber dari qalbu/kepribadian? Jelas ini
membahayakan pihak-pihak tertentu. Lagi pula dedikasi, prestasi dan kreasi itu
bikin susah saja, bikin repot. Ya, kemalasan Andalah yang melarang Anda
melibatkan kepribadian dan qalbu Anda dalam bekerja dan bergaul.
Kalau
Anda bergaul dan bekerja menggunakan perasaan (qalbu) dan/atau kepribadian
Anda, maka jelas hanya orang-orang yang mempunyai otoritaslah yang akan berada
di atas angin. Yaitu otoritas yang biasanya melekat pada jabatan, strata
pendidikan, senioritas, kebodohan, dst. Pada kasus ini, egoisme Andalah yang
melarang Anda untuk melibatkan perasaan/qalbu dan kepribadian Anda dalam
pergaulan dan dalam bekerja.
Proses
terjadinya saran di atas, tentu saja tidak Anda sadari, melainkan justru
mengalir di dalam darah Anda. Ya, bukankah syetan itu dapat mengalir mengikuti
aliran darah? Dengan cara itu pulalah, kita mendengar pemilahan lain: (a)
urusan dunia dan akhirat, (b) ilmu umum dan ilmu agama, (c) guru dan murid
Perhatikan
persamaan kimia berikut :
a.
Manusia
seutuhnya ¨ jasad
+ pikiran + ruh/kalbu = manusia
b.
Dikurangi perasaan ¾® jasad + pikiran ¹
manusia = robot/binatang
c.
Dikurangi
pikiran ¾® jasad
+ ruh ¹ manusia = ?
d.
Dikurangi
pikiran dan jasad ¾® ruh
¹ manusia =
hantu (?)
Begitulah dusta yang berkecamuk di
keseharian dan yang sudah berurat akar. Ya, sesuatu pernyataan yang tidak
faktual, bukankah dusta namanya?! Bukankah Anda diminta untuk tidak mengakui
totalitas Anda sebagai manusia yang terdiri dari qalbu, pikiran dan jasad?
Yang seharusnya kita kembangkan
bukanlah pemisah-misahan
dan juga bukan pencampur-adukan,
melainkan sekadar pembedaan. Ya, kita harus bisa membedakan antara pikiran
dengan perasaan, tetapi tidak memisahkannya atau membunuh salah-satunya.
Seperti juga, kita harus bisa membedakan antara daun dengan batang rambutan
tadi, tetapi tidak memandangnya sebagai akta terpisah atau menganggap salah
satunya tidak ada. Mengenai hal ini mari kita ikuti analogi berikut ini.
a.
Adalah fakta, bahwa manusia itu
terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita (bandingkan dengan fakta:
perasaan dan pikiran; urusan dinas dan urusan pribadi). Kita harus mampu
membedakan antara pria dan wanita
b.
Tetapi itu bukan berarti pria
dan wanita harus dipisahkan. Sebab kalau pria dan wanita dipisahkan, maka
dunia akan punah. Ya, dengan jalan apa manusia dapat mempertahankan spesiesnya
kalau pria dan wanita dipisahkan?
c.
Demikian, juga pria dan wanita
jangan dicampur-aduk (kumpul kebo). Sebab disamping hal ini dilarang agama,
juga akan mengacaukan kehidupan social dalam jangka pendek dan panjang
d.
Pria dan wanita harus
disatukan, harus dijembatani dengan prosesi nikah.
Jelas?!
Mari saya tunjukkan, betapa buruknya rupa
orang yang mengandalkan jurus pemisah-misahan itu. Biasanya dia tampil sebagai
sosok pribadi yang berkeping-keping, plintat-plintut,
munafik, berkepribadian ganda. Untuk orang lain dia bilang “buanglah perasaan
Anda”, tetapi untuk dirinya sendiri dia mencampur-adukkannya. Hal itu bisa
terjadi sebab yang dikatakannya tidak faktual, tidak sesuai dengan fitrah
penciptaannya sebagai manusia, tidak sesuai dengan totalitas keberadaannya.
Oleh karena itu kemudian menimbulkan konflik psikis, konflik internal. Konflik
inilah yang membentuk sifat-sifatnya. Maka tidak heran kalau kita menemui
gejala paradoksal seperti berikut:
a. Orang pandai yang bodoh
b. Orang kaya yang miskin
c. Pejabat yang penjahat, dst.
Dan inilah jamannya orang-orang seperti itu naik ke
atas tahta, menindas kita.
Saya tunjukkan lagi contoh yang lain :
a. Dalam hal tangan, manusia sempurna itu mempunyai tangan kanan dan
kiri
b. Tetapi perhatikannlah, bahwa hubungan kedua tangan tersebut
bukanlah sekadar tangan kanan + tangan kiri, melainkan mempunyai hubungan
organis yang rumit dan jelas tidak sama dengan sekadar penjumlahan tangan kanan
+ kiri belaka.
PENTINGNYA PERENCANAAN
Bahwa
perencanaan itu penting, saya kira kita semua sudah tahu. Pada bagian ini saya
ingin menyorotinya berdasarkan pemahaman dari ulasan-ulasan sebelumnya.
Sudah
menjadi kebiasaan, perencanaan disusun dalam jangka pendek, menengah, dan
panjang. Sepanjang-panjang perencanaan (nasional) biasanya hanya 25 tahun. Ini
adalah “pengakuan-diam” kita akan keterbatasan pandangan kita ke depan.[1]
Dengan bahasa saya, inilah pengakuan-diam kita terhadap kepicikan diri. Dan
bahkan dapat saya tunjukkan, inilah bukti kelalaian kita di antara
kelalaian-kelalaian lain terhadap Titah-Nya. Sebaik-baik perencanaan adalah
lepas dari dimensi waktu. Tegasnya, sebaik-baik perencanaan adalah dalam
rentang waktu dunia–akhirat. Ya, siapa yang mengajari kita untuk merencanakan
“hidup” hanya 25 tahun? Anda boleh mengajukan setumpuk alasan mengenai hal ini,
tetapi saya tidak mendengar!
Tetapi
bukan itu yang ingin saya kemukakan pada bagian ini. Meskipun demikian, cobalah
Anda renungkan realisme ulasan di atas dikaitkan dengan keimanan dan
keseluruhan sistem keyakinan Anda. Tentu secara formal tidak mungkin kita
mengungkapkan secara eksplisit perencanaan semacam itu. Mari kita kembali ke
pokok masalah.
Pada
bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kelamahan-kelemahan pikiran. Nah,
perencanaan itu penting untuk memberikan bahan yang dapat “dilihat” oleh
pikiran agar tidak lalai, karena pikiran mudah lalai, di antaranya
ketidak-mampuan pikiran mencerap fakta dengan tuntas itu tadi. Oleh karena itu,
menurut saya berlakulah proses berpikir sebagai berikut (Gambar 5)
Gambar 5 sebenarnya sudah kita kenal sejak masa SMP dan SMA dulu. Oleh karena itu saya tidak mengulasnya terlalu jauh. Hanya ada dua hal yang perlu saya kemukakan, yaitu:
a. Pada awalnya, kita harus tahu dulu, apa hakikat dari sesuatu yang kita
rencanakan (X=gajah), sebelum menuju ke hal-hal yang rinci. Jadi dari hal yang
umum (X) menuju yang rinci (1,2 dan 3). Ini disebut deduski
b. Setelah itu kita kembalikan lagi ke hal yang umum (induksi)
Untuk memperjelas
implementasinya, marilah kita ikuti contoh yang saya bikin dari metode di atas
(Gambar 6)
Melihat Gambar 6, harap Anda tidak mempersoalkan pokok-pokok yang tertera di dalamnya, sebab yang terpenting adalah bagaimana dan apa kegunaan gambaran seperti itu. Tentu dengan demikian, selanjutnya, Anda bisa melakukan kritik dan perubahan-perubahan pada model itu.
1. Model pada Gambar 6, saya susun setelah melakukan induksi terhadap segala macam hal, baik
TUPOKSI-TUPOKSI maupun problem-problem internal. Maka tersusunlah
keseluruhannya itu yang mempunyai ciri: (a) sederhana[2],
dan (b) banyak mengandung ungkapan-ungkapan nilai (etika, moral, akhlak, dst.),
tetapi tetap tidak bertentangan dengan ketentuan formal, sehingga massage keseluruhannya
dapat dicerap selintas-seketika oleh pikiran kita
2. Setelah itu, barulah kita dapat menyusun perencanaan lebih lanjut
(deduksi), yang dapat dimengerti oleh pikiran, baik dalam bentuk renstra
(umum=dedukri dalam batas induksi) maupun yang lebih rinci (khusus)
3. Saya tidak akan mengulas Gambar
6 lebih rinci. Saya persilakan Anda yang melakukan rinciannya. Yang saya
pentingkan adalah, kita semua sepaham, bahwa harus ada sesuatu yang dapat
“menyentuh” qalbu, sekaligus dapat dimengerti oleh pikiran. Dari situlah baru
kita memulai semuanya, ke depan, MELAMPAUI TEMBOK KEMUSTAHILAN.
4. “Kesan pertama memang mempesona. Selanjutnya terserah Anda”, kata sebuah
iklan.