Laman

Senin, 20 Februari 2012


10 - CONTOH KASUS, IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI

PEMILAH-MILAHAN: Urusan dinas dan urusan pribadi – perasaan dan pikiran

Pada ulasan sebelumnya sudah disebutkan, bahwa pikiran cenderung memilah-milah, memi­sah-misah. Ketika pilah-pilah itu disatukan, ternyata tidak sama dengan totalitas objek yang kita pilah-pilah, tidak factual.
Dalam keseharian, biasanya kita justru mengembangkan prinsip pecah-belah, pemilah-milah­an, sehingga ketika pilah-pilah itu disatukan, tidak sama dengan keseluruhannya. Kepada kita biasa­nya dikatakan: “Anda harus bisa MEMISAHKAN antara URUSAN DINAS dengan URUSAN PRIBADI”.
Jika memang demikian, tolong tanyakan kepada yang mengatakannya, “Ketika Anda YANG DINAS berangkat ke kantor, dimana Anda YANG PRIBADI disimpan? Apakah kita ini memang bisa dipilah-pilah seperti itu. Kalau saya YANG PRIBADI + saya YANG DINAS, apakah sama dengan saya YANG MANUSIA?”.
Mungkin saja seseorang merasa sudah meninggalkan KEPRIBADIANNYA saat bekerja. Tetapi ketahuian, bahwa KEPRIBADIAN itu tidak pernah meninggalkannya. Karena kepribadian adalah urusan bati, urusan qalbu. Tegasnya, Anda bisa meninggalkan qalbu, tetapi qalbu tidak akan pernah meninggalkan Anda.
Contoh lain : “Bekerjalah dengan pikiran, dan bukan dengan perasaan”
            Kalau yang dimaksud perasaan itu rasa sentimen misalnya, saya setuju kita harus meng­hindarkan diri dari perasaan seperti itu. Tetapi ketahuilah, bahwa perasaan hanyalah sebagian kecil dari kekayaan khazanah batiniah/qalbu kita. Jadi jelas mengikhlaskan rasa sentimen tidak sama dengan membuang qalbu dalam pergaulan atau dalam bekerja. Kalau qalbu harus dibuang dari lingkungan kerja, pantas saja kalau kita ini kejam, tidak produktif, awut-awutan dan bisanya hanya meniru dan menipu dalam bekerja.
            Bagaimana saran pemilah-milahan seperti itu bisa muncul?
            Kalau Anda bekerja dan bergaul melibatkan perasaan (qalbu) dan kepribadian Anda, maka Anda akan bekerja penuh dedikasi, prestasi dan kreatif. Ya, bukankah dedikasi, prestasi dan kreasi itu bersumber dari qalbu/kepribadian? Jelas ini membahayakan pihak-pihak tertentu. Lagi pula dedikasi, prestasi dan kreasi itu bikin susah saja, bikin repot. Ya, kemalasan Andalah yang melarang Anda melibatkan kepribadian dan qalbu Anda dalam bekerja dan bergaul.
            Kalau Anda bergaul dan bekerja menggunakan perasaan (qalbu) dan/atau kepribadian Anda, maka jelas hanya orang-orang yang mempunyai otoritaslah yang akan berada di atas angin. Yaitu otoritas yang biasanya melekat pada jabatan, strata pendidikan, senioritas, kebodohan, dst. Pada kasus ini, egoisme Andalah yang melarang Anda untuk melibatkan perasaan/qalbu dan kepribadian Anda dalam pergaulan dan dalam bekerja.
            Proses terjadinya saran di atas, tentu saja tidak Anda sadari, melainkan justru mengalir di dalam darah Anda. Ya, bukankah syetan itu dapat mengalir mengikuti aliran darah? Dengan cara itu pulalah, kita mendengar pemilahan lain: (a) urusan dunia dan akhirat, (b) ilmu umum dan ilmu agama, (c) guru dan murid
            Perhatikan persamaan kimia berikut :
a.   Manusia seutuhnya                 ¬®   jasad + pikiran + ruh/kalbu     = manusia
b.   Dikurangi perasaan                ¾®   jasad + pikiran ¹ manusia = robot/binatang
c.   Dikurangi pikiran                      ¾®   jasad + ruh ¹ manusia            = ?
d.   Dikurangi pikiran dan jasad   ¾®   ruh ¹ manusia                        = hantu (?)

Begitulah dusta yang berkecamuk di keseharian dan yang sudah berurat akar. Ya, sesuatu pernyataan yang tidak faktual, bukankah dusta namanya?! Bukankah Anda diminta untuk tidak mengakui totalitas Anda sebagai manusia yang terdiri dari qalbu, pikiran dan jasad?

Yang seharusnya kita kembangkan bukanlah pemisah-misahan dan juga bukan pencam­pur-adukan, melainkan sekadar pembedaan. Ya, kita harus bisa membedakan antara pikiran dengan perasaan, tetapi tidak memisahkannya atau membunuh salah-satunya. Seperti juga, kita harus bisa membedakan antara daun dengan batang rambutan tadi, tetapi tidak memandangnya sebagai akta terpisah atau menganggap salah satunya tidak ada. Mengenai hal ini mari kita ikuti analogi berikut ini.
a.   Adalah fakta, bahwa manusia itu terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita (bandingkan dengan fakta: perasaan dan pikiran; urusan dinas dan urusan pribadi). Kita harus mampu membedakan antara pria dan wanita
b.   Tetapi itu bukan berarti pria dan wanita harus dipisahkan. Sebab kalau pria dan wanita dipisah­kan, maka dunia akan punah. Ya, dengan jalan apa manusia dapat mempertahankan spesiesnya kalau pria dan wanita dipisahkan?
c.   Demikian, juga pria dan wanita jangan dicampur-aduk (kumpul kebo). Sebab disamping hal ini dilarang agama, juga akan mengacaukan kehidupan social dalam jangka pendek dan panjang
d.   Pria dan wanita harus disatukan, harus dijembatani dengan prosesi nikah.
Jelas?!
Mari saya tunjukkan, betapa buruknya rupa orang yang mengandalkan jurus pemisah-misah­an itu. Biasanya dia tampil sebagai sosok pribadi yang berkeping-keping, plintat-plintut, munafik, berkepribadian ganda. Untuk orang lain dia bilang “buanglah perasaan Anda”, tetapi untuk dirinya sendiri dia mencampur-adukkannya. Hal itu bisa terjadi sebab yang dikatakannya tidak faktual, tidak sesuai dengan fitrah penciptaannya sebagai manusia, tidak sesuai dengan totalitas keberadaannya. Oleh karena itu kemudian menimbulkan konflik psikis, konflik internal. Konflik inilah yang membentuk sifat-sifatnya. Maka tidak heran kalau kita menemui gejala paradoksal seperti berikut:
a.  Orang pandai yang bodoh
b.  Orang kaya yang miskin
c.  Pejabat yang penjahat, dst.
Dan inilah jamannya orang-orang seperti itu naik ke atas tahta, menindas kita.
Saya tunjukkan lagi contoh yang lain :
a.  Dalam hal tangan, manusia sempurna itu mempunyai tangan kanan dan kiri
b.  Tetapi perhatikannlah, bahwa hubungan kedua tangan tersebut bukanlah sekadar tangan kanan + tangan kiri, melainkan mempunyai hubungan organis yang rumit dan jelas tidak sama dengan sekadar penjumlahan tangan kanan + kiri belaka.

PENTINGNYA PERENCANAAN

            Bahwa perencanaan itu penting, saya kira kita semua sudah tahu. Pada bagian ini saya ingin menyorotinya berdasarkan pemahaman dari ulasan-ulasan sebelumnya.
            Sudah menjadi kebiasaan, perencanaan disusun dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Sepanjang-panjang perencanaan (nasional) biasanya hanya 25 tahun. Ini adalah “pengakuan-diam” kita akan keterbatasan pandangan kita ke depan.[1] Dengan bahasa saya, inilah pengakuan-diam kita terhadap kepicikan diri. Dan bahkan dapat saya tunjukkan, inilah bukti kelalaian kita di antara kelalaian-kelalaian lain terhadap Titah-Nya. Sebaik-baik perencanaan adalah lepas dari dimensi waktu. Tegasnya, sebaik-baik perencanaan adalah dalam rentang waktu dunia–akhirat. Ya, siapa yang mengajari kita untuk merencanakan “hidup” hanya 25 tahun? Anda boleh mengajukan setumpuk alasan mengenai hal ini, tetapi saya tidak mendengar!
            Tetapi bukan itu yang ingin saya kemukakan pada bagian ini. Meskipun demikian, cobalah Anda renungkan realisme ulasan di atas dikaitkan dengan keimanan dan keseluruhan sistem keya­kinan Anda. Tentu secara formal tidak mungkin kita mengungkapkan secara eksplisit perencanaan semacam itu. Mari kita kembali ke pokok masalah.
            Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kelamahan-kelemahan pikiran. Nah, perencanaan itu penting untuk memberikan bahan yang dapat “dilihat” oleh pikiran agar tidak lalai, karena pikiran mudah lalai, di antaranya ketidak-mampuan pikiran mencerap fakta dengan tuntas itu tadi. Oleh karena itu, menurut saya berlakulah proses berpikir sebagai berikut (Gambar 5)

            Gambar 5 sebenarnya sudah kita kenal sejak masa SMP dan SMA dulu. Oleh karena itu saya tidak mengulasnya terlalu jauh. Hanya ada dua hal yang perlu saya kemukakan, yaitu:

a.   Pada awalnya, kita harus tahu dulu, apa hakikat dari sesuatu yang kita rencanakan (X=gajah), sebelum menuju ke hal-hal yang rinci. Jadi dari hal yang umum (X) menuju yang rinci (1,2 dan 3). Ini disebut deduski
b.   Setelah itu kita kembalikan lagi ke hal yang umum (induksi)

Untuk memperjelas implementasinya, marilah kita ikuti contoh yang saya bikin dari metode di atas (Gambar 6)


            Melihat Gambar 6, harap Anda tidak mempersoalkan pokok-pokok yang tertera di dalam­nya, sebab yang terpenting adalah bagaimana dan apa kegunaan gambaran seperti itu. Tentu de­ngan demikian, selanjutnya, Anda bisa melakukan kritik dan perubahan-perubahan pada model itu.
1.   Model pada Gambar 6, saya susun setelah melakukan induksi terhadap segala macam hal, baik TUPOKSI-TUPOKSI maupun problem-problem internal. Maka tersusunlah keseluruhannya itu yang mempunyai ciri: (a) sederhana[2], dan (b) banyak mengandung ungkapan-ungkapan nilai (etika, moral, akhlak, dst.), tetapi tetap tidak bertentangan dengan ketentuan formal, sehingga massage keseluruhannya dapat dicerap selintas-seketika oleh pikiran kita
2.   Setelah itu, barulah kita dapat menyusun perencanaan lebih lanjut (deduksi), yang dapat dime­ngerti oleh pikiran, baik dalam bentuk renstra (umum=dedukri dalam batas induksi) maupun yang lebih rinci (khusus)
3.   Saya tidak akan mengulas Gambar 6 lebih rinci. Saya persilakan Anda yang melakukan rincian­nya. Yang saya pentingkan adalah, kita semua sepaham, bahwa harus ada sesuatu yang dapat “menyentuh” qalbu, sekaligus dapat dimengerti oleh pikiran. Dari situlah baru kita memulai semuanya, ke depan, MELAMPAUI TEMBOK KEMUSTAHILAN.
4.   “Kesan pertama memang mempesona. Selanjutnya terserah Anda”, kata sebuah iklan.


[1] Dan juga ke belakang?
[2] Tentu sederhana menurut saya. Bisa saja model ini lebih disederhanakan lagi

Minggu, 19 Februari 2012

09 - SIAPAKAH SAYA?


Anda boleh melewati bagian ini

            Pada bagian ini, ijinkan saya mengambil kesempatan untuk curhat kepada Anda semua, mengenalkan diri. Kalau Anda tidak suka, Anda boleh melewati bagian “Siapakah saya?” ini, dan langsung ke bagian berikutnya. Saya juga akan menjelaskan beberapa hal yang terkait dengan uraian sebelumnya. Ini saya lakukan untuk menghindari kesalah-pahaman yang, menurut pengalaman, sering terjadi. Tetapi saya akan menjelaskannya secara meloncat-loncat dari satu tema ke tema lainnya, bercampur baur dengan curhat saya.

Siapakah saya?
1.   Sehebat apa pun saya menurut Anda (Ehm, terima kasih Anda telah memuji saya), ketahuhlah, bahwa saya adalah manusia biasa yang terdiri dari qalbu/ruh, pikiran dan tubuh. Oleh karena itu, apa pun yang saya katakan, termasuk kritik mengenai pikiran Anda misalnya, tetap saja melekat ciri kelemahan pikiran saya. Maka dua hal yang perlu Anda ketahui: (a) Saya hanya mengajukan model yang ideal, dan yang universal, tetapi (b) tidak terlalu penting, apakah model itu kemudian ternyata benar atau salah. Anda berhak mempunyai pendapat/model lain. Yang penting adalah saya mengajak Anda untuk menghidupkan kehidupan, menjadi bagian dari kekayaan dunia, dan bukan sebaliknya. Mengapa demikian, karena menurut pandangan saya, apa yang kita lakukan selama ini adalah: (a) membunuh karakter kita sendiri, (b) membunuh waktu dengan perilaku batil/sia-sia, (c) membunuh harapan, (d) menyebarkan kematian mental, (e) mengembangkan perilaku jahiliyah, dst.
2.   Tak terkatakan, bagaimana saya mencintai Balitbu, sangat sulit mengungkapkannya. Ya, kesulitan itu karena disamping cinta itu gaib, saya sedang berhadapan dengan sekelompok orang yang tidak mengenal cinta (rahman-rahim), apalagi mengalaminya. Ya, Anda hanya mengenal cinta sebagai hubungan sexual atau hubungan rasa antara pria dengan wanita.
3.   Bagaimana tantangan masa depan Balitbu, tidak perlu saya kemukakan lagi. Anda tentu lebih pandai daripada saya. Tetapi apa yang kita lakukan? Kita terus berebut tulang, kita terus bermain-main, sambil melumat gula-gula. Kita tidak peduli dengan Balitbu, karena kita juga tidak peduli dengan karakter kita sendiri. Ya, tentu tidak semua dari Anda begitu. Kalau saya benar, maka Anda tentu tahu ke mana institusi ini mengarah! Inilah problem yang sangat banyak menyita pikiran dan rasa saya. Bahwa semua kelemahan itu akan mewaris ke generasi berikutnya. Dan kita akan menanggung DOSA JARIYAH[1]. Yaitu dosa yang akan kita terima sampai di alam kubur kelak. Dosa itu akan tetap kita terima sampai efek dari perilaku kita dan yang diteladani oleh para yunior itu menjadi sirna. Yang lebih meremas-remas rasa adalah, ada di antara Anda yang secara sadar atau tidak, menularkan semua kelemahan itu kepada para yunior.
Tentu saja “ancaman” saya itu akan ada gunanya, jika dan hanya jika Anda memang percaya kepada Sang Khalik dan hari akhir. Kalau tidak, berharaplah SEMOGA AKHIRAT ITU TIDAK ADA. Ya, karena perilaku kita lebih cocok dengan perilaku orang yang tidak percaya kepada hari akhir kok!

Fragmen dialog

4.   Seorang teman dekat saya menyatakan: “Dengan makin banyaknya lulusan petugas belajar yang umumnya masih yunior itu, tentu kita boleh berharap akan adanya kemajuan yang lebih signifikan di Balitbu sejak sekarang. Kita semua menjadi saksi, bagaimana hebatnya daya kritis mereka pada saat acara raker tempo hari. Ini menjadi justifikasi yang cukup kuat bagi optimisme saya itu”.
Pada dasarnya teman saya itu ingin membangun hipotesis, atau model yang berbunyi: “Bertambahnya jumlah sarjana berkorelasi positip dengan kemajuan”. Selanjutnya dia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”.
Saya menjawab pertanyaan dia dengan balik bertanya: “Menurut Sampeyan, bagaimana kita harus menanggapi pernyataan seorang bule bahwa problem kita adalah soal moral[2]? Kalau si bule itu benar, apakah saya masih harus menjawab pertanyaan Sampeyan?”.
Sebenarnya tidak enak juga membahas masalah ini, sebab kalau saya menolak hipotesis teman saya itu, mudah sekali ditafsirkan bahwa saya telah meremehkan para lulusan petugas belajar. Sedangkan dengan mengutip pernyataan orang bule itu, seolah saya telah menghujat bahwa kita tidak bermoral. Inilah repot!
Dengan cara yang sama, setiap upaya perbaikan selalu mengalami kegagalan total, sebab kita selalu saja gagal sejak tahap awal, sejak tahap dialog.
Uraian di atas sekaligus memperagakan kepada Anda bagaimana saya berputar-putar, dihadap­kan kepada problem dalam mengungkapkan problem. Inilah problem di atas problem!. Ya, kita telah berhasil membangun penjara bagi pembebasan ekspresi kita sendiri, sehingga problem apa pun yang sedang kita bicarakan justru tak tersentuh, tetap di tempatnya semula. Sementara itu, pembicaraan (dialog) itu sendiri melantur kemana-mana. Itulah yang kita sebut dialog hari ini bukan?. Sekarang ijinkanlah saya, mengungkapkan rasa dari pengalaman empiris dialog di keseharian kita. Dengan ungkapan itu, saya berharap kita semua dapat melihat sekilas–seketika–menyeluruh, terhadap fakta empiris yang kita ciptakan bersama. Begini:
“Anda selalu membuat saya menangis, sedangkan saya selalu membuat Anda marah, mungkin!. Perhatikan, alangkah lemahnya saya, dan alangkah jahatnya Anda. Lalu, mengapa kita musti lemah dan jahat?”.

Pengabdian
5.   Sesungguhnyalah, penelitian itu mengabdi kepada kemanusiaan. Konsekuensinya, ia tidak pandang bulu, tidak pandang agama dan negara manusia-manusia. Ya, institusi ini diadakan dengan latar belakang: kepedulian, atau untuk memenuhi kebutuhan (pangan) manusia. Bahwa hanya karena alasan praktis dan teknis sajalah, kemudian kita mencukupkan diri pada lingkung nasionalisme. Namun demikian, tetap saja dapat kita “rasakan” bahwa di dalam nasionalisme itu terkandung kepicikan. Jadi, kita memerlukan ketersediaan pangan yang cukup kuantitas dan kualitas. Untuk itu diperlukan kerja yang baik, bukan? Dan bekerja yang baik diperlukan pikiran yang baik pula tentu. Ini sudah jelas! Sebelumnya sudah saya jelaskan, bahwa berpikir saja tidaklah cukup. Ya, kita memerlukan qalbu yang baik. Total jenderal, kita harus menjadi agamawan yang baik. Ya, karena hanya agama yang memandang Anda sebagai totalitas, bukan sebagai sesuatu yang dapat dipecah-pecah. Sekarang tinggal tergantung kepada bagaimana Anda melihat agama.

Ilmu

6.   Ilmu adalah salah satu dari sekian banyak perbendaharaan Rahmat-Nya yang tak terhitung. Oleh karena itulah, ilmu itu bersifat gaib[3]. Apakah yang gaib itu bisa dicari di sekolah-sekolah formal dan/atau informal? Jawabnya jelas tidak! Maka saya heran, ketika beberapa di antara Anda mempe­re­butkan kesempatan memperoleh “ilmu” itu sampai tega menginjak kaki dan membangun jarak dengan saudaranya sendiri. Hal ini terjadi karena, sekurang-kurangnya disebabkan oleh 4 hal: (a) tidak tahu bahwa ilmu itu tidak bisa dicari, dan (b) ada niat jahat yang melatar belakangi keinginannya meraih ilmu, dan (c) membayangkan karir yang lebih baik, tentunya juga duit yang lebih banyak kelak, dan (d) prestise semata.
Sesungguhnya ilmu itu terletak, atau tepatnya diletakkan di qalbu siapa saja yang dike­hendaki-Nya, dan bukan di qalbu orang-orang yang menginginkan ilmu. Mari saya tunjukkan bukti.

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin al-As r.a katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Allah s.w.t tidak mengambil ilmu Islam itu dengan cara mencabutnya dari manusia. Sebaliknya Allah s.w.t mengambilnya dengan mengambil para ulama sehingga tidak tertinggal walaupun seorang…….(sampai selesai).
Diriwayatkan oleh Abu Musa r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Perumpamaan Allah Azza Wa Jalla mengutusku menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti tetesan hujan yang membasahi bumi. Maka sebagian bumi tersebut menjadi subur tanahnya sehingga dapat menyerap air serta menumbuhkan rerumputan dan sebagian lagi berupa tanah-tanah keras yang dapat menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat meneguk air, memberi minum dan menggembala ternaknya di tempat itu. Ada juga tetesan air hujan tersebut jatuh di tanah yang lain, yaitu tanah gersang yang sama sekali tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput…..(sampai selesai).
Mari kita tarik inferensi dari kedua hadist di atas:
a.   Ilmu itu bukan yang ada di dalam pikiran, dan oleh karena itu hafalan bukanlah ilmu, melainkan residunya pikiran. Pada hadist di atas tampaknya Nabi ingin mengatakan, “Boleh jadi Anda menghafal seluruh buku-buku di dunia, tetapi hafalan itu bukanlah ilmu. Karena ilmu melekat pada seorang manusia. Oleh karena itu, ilmu itu hilang bersama berpulangnya seorang manusia berilmu (ulama) ke Hadirat-Nya. Kalau ilmu terletak di dalam pikiran, tentu Anda bisa mewarisinya melalui buku-buku para ulama itu. Padahal kalau Tuhan hendak mencabut ilmu (agama) dari dunia ini bukan dengan menghilangkannya dari (ingatan) manusia, dan juga bukan dengan melenyapkan buku-buku dari permukaan bumi”.
b.   Ilmu itu hidup, menghidupkan dan kreatif, sebab ia datang dan diletakkan di dalam dada Anda dari yang Maha Hidup dan Maha Kreatif. Oleh karena itu, ciri orang berilmu itu hidup, menghidupkan dan kreatif. Orang berilmu itu tumbuh dan menumbuhkan.

Mengapa Barat lebih maju?
7.   Karena orang Barat lebih konsekuen dengan agamanya. Apa agama mereka? Agama mereka adalah rasionalisme, dan tuhannya materi, meskipun mereka tidak menganggapnya demikian. Ya, mereka itu sangat konsentrasi, sangat khusuk dari saat ke saat dalam mengabdi kepada tuhannya. Ketahuilah, bahwa siapa Anda, tergantung kepada agama Anda, tergantung keyakinan-keyakinan Anda, dan itulah yang menggerakkan Anda dalam bekerja dan berperilaku. Tentu saja kemudian, saya kira Tuhan yang menurunkan Al-Qur’an, lebih menyukai orang Barat yang konsekuen itu, ketimbang kepada kita yang (maaf) munafik. Ya, karena Dia sudah berjanji akan meluluskan permintaan hamba-Nya yang mana pun, tidak pandang apakah mereka itu murtad atau tidak. Lihatlah, (a) di masjid sholat, di kantor jorupsi, (b) disuruh menjalin silaturrahmi, malah memutuskan, (c) “Akulah yang Maha Haq/benar” Firman-Nya, malah masing-masing kita merasa paling benar, dst.
Mungkin saja Malaikat lalu bingung dan bertanya-tanya, “Sebenarnya agama dan tuhan Anda ini yang mana sih. Kok pagi kedelai, sore tempe?”

Yang saya lakukan dan seharusnya kita lakukan

8.   Yang saya lakukan sebenarnya hanya sekadar mengajukan “model” yang pada prinsipnya segala sesuatu aktivitas kita kembalikan kepada agama, baik itu bekerja, “merasa”, berpikir, berbicara, mendengar, diam, memimpin, menjadi bawahan, dst. Beberapa hal perlu saya tekankan:
a.   Saya berasumsi bahwa Anda semua adalah orang-orang yang, setidaknya, beriman kepada Sang Khalik dan hari akhir
b.   Bagaimana pun hebatnya model yang saya ajukan, saya tetaplah manusia biasa seperti Anda semua. Maka perubahan, kritik, atau penggantian model yang lebih “agamis” daripada model yang saya ajukan, tentu bukan hal yang mustahil
c.   Jika Anda setuju dengan model yang saya ajukan, maka inilah hal-hal pertama yang harus kita lakukan:
·  Persaksian pertama. Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusannya (syahadat). Ini adalah ikrar kemerdekaan. Kita bersaksi bahwa materi itu bukan tuhan, pikiran itu bukan tuhan, perasaan itu bukan tuhan, nafsu itu bukan tuhan, teman itu bukan tuhan, dst. Maka kita tidak mempertu­rut­kan kehendak semuanya apabila melanggar Kehendak-Nya.
·  Amalan/aktivitas pertama. Mulailah segala sesuatu yang baik itu dengan basmalah, kata salah satu hadist. Ini adalah anjuran kepada kita untuk berjanji mem­bumikan Cinta-Nya yang di langit menjadi mewujud di bumi. Cinta inilah sumber dari segala sumber apa pun yang dapat kita cerap dan harus kita lakukan. Karena Dia Mencipta juga dengan Cinta (rahman-rahim). Saya juga ingin mengatakan: “Berpikirlah dengan kehadiran Nama-Nya di hati Anda. Karena Dia Yang Maha Cinta, Dia pula yang Maha Pencipta. Maka Insya Allah, pikiran Anda akan merefleksikan cinta dan penciptaan, dan bukan kebencian dan penjiplakan”. Maka, marilah kita tumbuhkan cinta kepada manusia seluruhnya, kepada pekerjaan, kepada air mata, gunung-gunung, mereka yang terbuang, mereka yang berkuasa, burung yang berkicau, maling yang digebuki, dst. Karena Tuhan juga begitu kok! Mengapa kita tidak?! Cobalah Anda perhatikan semua itu dengan jiwa polos, tanpa menghakimi, tanpa memberi cap. Setelah itu, sekarang jelaskan kepada saya, adakah Anda menemukan cinta di sana, di dada Anda? Tentu Anda tidak akan menemukan keterangan semacam ini di buku mana pun di dunia. Karena semua itu sebenarnya ada di dalam lembar-lembar qalbu Anda yang Anda abaikan selama ini, tetapi justru terus-menerus Anda suapi dengan kepuasan nafsu.
·  Ayat pertama. Membaca? Terus, teruslah membaca apa saja. Tetapi “Bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang Menciptakan”, kata Al-Qur’an. Kalau seluruh buku yang Anda baca tidak menghasilkan cinta dan penciptaan, maka sesungguhnya Anda hanya mengumpukan residunya ilmu, hafalan dari bacaan itu tidak lebih dari residunya pikiran. Residu itulah yang kemudian mendorong Anda sedikit karya banyak tuntutan, dan sifat-sifat residual lainnya.
Perhatikan, tidak ada hal baru yang saya kemukakan. Model yang saya ajukan hanyalah membubuhkan ruh di atas perilaku kita selama ini. Dan ruh itu adalah ruh agama. Insya Allah.


[1]     Tentu dosa jariyah saya yang peling kecil daripada Anda. Bahkan, setelah saya mengingatkan Anda dengan tulisan ini, maka dosa saya diampuni-Nya (Insya Allah)
[2]     Dari sumber yang bisa dipercaya, si bule menyatakan penilaiannya itu ketika dilakukan evaluasi kinerja Balitbu pada forum resmi di Jakarta.
[3]     Bahkan pada hakikatnya Rahmat Tuhan yang berupa benda-beda fisik itu terletak juga pada unsur kegaibannya, yaitu yang kita kenal dengan sebutan barokah. Maka, boleh jadi seseorang itu kaya, tetapi belum tentu kekayaannya itu berbarokah. Dan jangan lupa, substansi benda-benda fisik itu pun sebenarnya juga bersifat gaib. Sebab substansi benda-benda fisik adalah energi. Ataukah ada di antara Anda yang pernah melihat energi? Benda-benda fisik yang dapat kita lihat dengan mata telanjang itu hanya derivat dari energi. Singkat kata, seluruh benda itu adalah energi, dan energi adalah gaib meskipun kita dapat “merasakan” keberadaannya.

Sabtu, 11 Februari 2012

08 - INTERMEZZO 2: Garis bengkok


            Di bawah ini saya menggambar sebuah lingkaran, lalu persis bersinggungan pada salah satu sisinya saya bikin garis “sedikit bengkok (lengkung)”. Cobalah Anda amati baik-baik garis itu beberapa detik sambil membisikkan kalimat: “Ya, garis itu bengkok, garis itu bengkok” sebanyak yang Anda suka.



            Sekarang dengarkan keterangan saya:
1.   Sayang sekali, saya telah membohongi Anda. Sebenarnya garis itu lurus belaka. Kalau tidak percaya, coba saja Anda ambil penggaris yang masih baik, lalu buktikan! Ya, garis itu lurus!.
2.   Mata Anda telah mengelabui Anda, didukung bisikan Anda yang menimbulkan efek hipnotis, sehingga qalbu Anda yakin: “Ya, garis itu bengkok”. Begitulah sebuah tipuan terjadi dari dalam diri Anda sendiri, di dalam diri kita semua!
3.   Dengan cara yang sama, pikiran juga sering menipu dalam membentuk perilaku kita sehari-hari. Dan ketika pikiran kita biarkan terus mengoceh, mencari bukti-bukti pembenaran perilaku diri kita sendiri, makin jauhlah kita dari kebenaran, makin jauh dari fakta. Tentu saja kita tak menyadari hal ini.
4.   Hikmah yang diperluas dari peristiwa tipu-menipu itu adalah: (a) perilaku yang lurus, bisa saja tampak bengkoj, sebaliknya, tentu saja (b) perilaku yang bengkok pun dapat terlihat lurus.
5.   Dalam kasus ini, pikiran mustahil dapat membantu Anda untuk meluruskan “pandangan” Anda itu. Bahwa kemudian Anda mengambil penggaris untuk menguji lurus-bengkoknya garis itu, semata karena “petunjuk” saya bukan? Sebelum saya memberi “petunjuk” tadi, Anda adalah seorang yang tidak tahu bahwa Anda tidak tahu. Itulah gunanya orang lain!
Oleh karena itulah, saya berani bilang, bahwa membangun jarak dan kebencian dengan orang lain, atas nama apa pun, adalah termasuk kejahatan kemanusiaan terbesar. Sebab, hal itu akan menutup hadirnya kebenaran dan berkahnya, yang mustahil dapat kita duga dari mulut siapa kebenaran itu menghampiri kita. Lalu dimulailah satu proses reduksi kemanusiaan kita. Seiring dengan waktu, mulailah proses sebal, kebal dan akhirnya bebal terhadap kebenaran (summun bukun umyun fahum layarji’un, menurut versi Al-Qur’an).

07 - LEBIH JAUH TENTANG STATUS PIKIRAN: Berpikir Holistik


Telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa pikiran cenderung analitis, memilah-milah, separa­tis, friktif, parsial. Sebaliknya, ia tidak mampu mencerap objek secara tuntas. Untuk itu marilah kita perhatikan Gambar 4, yang akan menggambarkan bagaimana pikiran kita berperilaku.

Gambar 4. Bayangan sebagai objek pikiran

1.   Hakikat sesuatu objek pikiran selalu bersifat tersembunyi, atau setidaknya tidak akan pernah tuntas dicerap secara menyeluruh oleh pikiran. Ya, selalu saja ada bagian yang tidak kita mengerti. Bahkan kata Imam Syafiei: “Makin banyak yang aku ketahui, makin sadarlah saya bahwa jauh lebih banyak lagi yang belum saya ketahui”. Kalau kita mengenal istilah metodologi, maka sebenarnya hanya berarti “cara logis untuk mendekati objek”, dan bukan cara mencerap objek secara tuntas
2.   Dalam konteks praktis, biasanya kita lalu membagi tugas kepada beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu misalnya. Sekarang akan saya tunjukkan, bahwa model “membagi tugas” seperti ini mengandung kelemahan atau bahaya, kalau kita tidak memahami karakter pemikiran di balik pembagian tugas itu
3.   Kembali ke gambar, apa yang kita pikirkan tentang suatu objek sebenarnya hanya “bayangannya saja”. Perhatikan, orang yang kebetulan pada posisi A akan mengatakan bahwa hakikat objek yang diamatinya adalah sebuah BOLA, sedangkan menurut orang di posisi B adalah sebuah BALOK. Padahal kita tahu bahwa hakikat objek pada gambar adalah tabung. Mari saya peragakan letak kelemahannya dengan logika matematika sederhana berikut ini:
TABUNG = BOLA + BALOK…..(?), atau BOLA + BALOK = TABUNG…..(?). Jadi kalau pikiran kedua orang itu disatukan ternyata tidak sama dengan hakikat objek itu bukan?
4.   Oleh karena pikiran tidak akan pernah mampu mencerap hakikat objek secara tuntas, maka berarti pikiran tidak akan pernah mampu berbicara perihal KEBENARAN. Pikiran hanya mampu berbicara perihal KEBETULAN. Mengambil hikmah dari gambar di atas, maka “KEBETULAN + KEBETULAN ¹ KEBENARAN” bukan? Artinya, kita tidak bisa menemukan kebenaran dengan mengumpulkan kebetulan-kebetulan.
5.   Dengan kata lain, pikiran tidak mampu melakukan VALUASI (penilaian salah-benar), pikiran hanya mampu melakukan EVALUASI (menyatakan fakta-fakta parsial).

Mungkin Anda masih agak bingung. Jangan khawatir, saya juga bingung kok. Mari kita ambil contoh lain berikut ini.
GAJAH itu haruslah sama dengan GAJAH bukan? Tetapi, sadarkah Anda bahwa jalan pikiran kita sehari-hari tidak demikian. Jalan pikiran kita mengatakan bahwa gajah itu = bulat-panjang (kaki) + pipih-lebar (kuping) + berbulu (kulit) + ...... + n.
Kalau unsur-unsur itu dijumlahkan, akankah sama dengan gajah? Pasti,......tidak bukan!? Memang, air (H2O) itu sama dengan H2 + O2. Tetapi kalau Anda haus, apakah Anda minum H2  ditambah O2? Masih bingung?. Mari kita lihat gambaran lain.
Misalnya, suatu penelitian menghendaki Anda mengukur/mengamati karakter DAUN TANAMAN RAMBUTAN. Perhatikan kata daun, tanaman dan rambutan. Dan perhatikan pula, bagaimana suasana psikis Anda saat mengamatinya.
a.  Meskipun perhatian Anda tertuju hanya kepada DAUN, tetapi pasti Anda sadar sesadar-sadarnya bahwa DAUN itu hanyalah sebagian dari bagian-organis TANAMAN, dan TANAMAN itu adalah RAMBUTAN. Oleh karena daun itu hanya sebagian organ, maka pasti ia bersangkut-paut dengan bagian-bagian lain (akar, batang, dst.). Tetapi kita bisa membedakan bahwa daun bukanlah akar, dan akar bukanlah batang. Begitulah seterusnya kesadaran Anda dari saat ke saat selama melakukan pengamatan
b.  Oleh karena itu, praktik-praktik dalam ilmu ragawi biasanya bisa lebih dijamin kebenarannya daripada ilmu non-ragawi. Sehingga, bagian-bagian yang diamati secara terpisah pun, setelah disatukan akan membangun suatu sistem konsistensi logika yang utuh. Pada contoh di atas, rangkaiannya membentuk bangun TANAMAN RAMBUTAN. Suatu bangun yang membentuk sistem konsistensi logika yang utuh, itulah fakta namanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka berlaku prinsip umum :
a.  Keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagiannya, atau
b.  Keseluruhan sama dengan keseluruhan itu sendiri (gajah = gajah).

Keseluruhan peristiwa pada contoh kasus terakhir itulah bentuk konkrit dan tuntas cara berpikir yang benar, cara berpikir holistic, menyeluruh. Hanya saja dalam hal ini menyangkut soal yang sempit, yaitu proses mental yang terjadi saat pengamatan daun rambutan.

06 - INTERMEZZO 1: Berpikir terbalik


Berikut saya akan sajikan ilustrasi, bagaimana memori/hafalan yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi perilaku kita, justru hanya memenjara kita dan menyediakan jalan buntu dalam pemecahan persoalan.


KASUS 1.
Menentukan kerikil hitam atau putih

Seorang Bapak dari keluarga miskin yang mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik, terlilit hutang tanpa ada kemungkinan dia mampu membayar kembali hutangnya itu beserta bunganya. Pada jaman itu, seorang rentenir dapat membuat keputusan apa saja kepada orang yang tidak mampu mambayar hutangnya.
Sore itu matahari mulai condong ke barat, saat sang rentenir mendatangi rumah si Bapak miskin itu. Lalu dia mengemukakan “niat baiknya”, menawarkan jalan ke luar kepada si Bapak miskin.
            “Dengan keadaan Anda ini, bagaimana kalau kita mengadu nasib saja. Siapa tahu Anda beruntung hari ini”, kata si rentenir membuka pembicaraan.
            “Maksud Anda?”, tanya si Bapak miskin, pendek.
            “Mari kita undi saja nasib kita. Di taman kota sana, ada bagian hamparan yang ditaburi kerikil hitam dan putih. Nah, aku akan mengambil satu kerikil hitam dan satu kerikil putih, lalu akan masukkan ke dalam kantong kain ini”, sambil dia menunjukkan kantong kain yang sengaja dibawanya dari rumah.
“Agar adil, anak gadis Anda inilah yang mengocok kantong tadi, sampai ada salah satu kerikil yang keluar dari dalam kantong. Jika kerikil putih yang keluar dari dalam kantong, maka Anda beruntung. Seluruh hutang beserta bunganya saya anggap lunas. Tetapi jika kerikil hitam yang keluar, maka anak gadis Anda saya ambil sebagai ganti hutang Anda”.
            Singkat cerita, si Bapak miskin tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tawaran si rentenir. “Ya, siapa tahu keburuntungan berpihak kepadaku hari ini”, bisiknya dalam hati.
            Maka pergilah mereka bertiga ke taman kota dan menuju ke sehamparan kerikil hitam-putih yang menjadi penghias taman itu. Mulailah si rentenir mengambil dua butir kerikil, persis di depan kakinya. Karena begitu tegangnya, si anak gadis berkonsentrasi terhadap setiap gerakan yang dilakukan si rentenir. Alangkah terkejutnya dia ketika dilihatnya bahwa si rentenir itu curang, karena kerikil yang diambilnya itu ternyata kedua-duanya berwarna hitam. “Sudah menjadi nasibnyakah menjadi “piaraan” si rentenir?”, pikirnya.
Setelah kedua kerikil dimasukkan ke dalam kantong, diserahkannya kantong itu kepada si anak gadis.

Seandainya Anda ditimpa masalah seperti itu, apakah gerangan yang terbayang di benak Anda selain membayangkan nasib buruk Anda? Ya, bukankah kerikil yang akan keluar saat dikocok itu pasti kerikil hitam?. Bahkan mungkin, kerikil hitam itu meloncat-loncat di pelupuk mata Anda sejak saat sebelum kantong dikocok.
Bagaimana jalan ke luarnya, mari kita ikuti kisah ini lebih lanjut.

Sesaat sebelum anak gadis itu mengocok kantong yang berisi kedua kerikil “hitam dan putih”, tiba-tiba dia mengulum senyum. Rupanya sudah diperolehnya akal agar dia bisa ke luar dari masalah ini. Apakah si gadis akan menyulap kerikil hitam menjadi putih?
Dengan kocokan yang tampak tergesa-gesa, keluarlah salah satu kerikil dari dalam kantong. Dan…….hup, kerikil itu lepas, gagal ditangkap oleh tangan si anak gadis itu, sehingga jatuh berbaur dengan kerikil hitam-putih di taman itu.
Bagi si Bapak miskin dan rentenir itu, tentu sekarang timbul problem, kerikil berwarna apakah yang telah jatuh tadi? Ya, begitulah “kebiasaan” memenjarakan pikiran kita. Pastilah kita juga akan bertanya: “Kerikil berwarna apakah yang telah jatuh tadi?, seperti si rentenir yang penasaran itu.
            “Menentukan warna kerikil yang jatuh dalam undian tadi, sangatlah mudah Pak”, kata si gadis mencairkan keadaan.
“Meskipun kerikil tadi sudah jatuh sehingga berbaur dengan kerikil-kerikil lain di taman ini, tetapi kita bisa memastikan warna kerikil yang jatuh dengan melihat kerikil yang tersisa di dalam kantong ini. Kalau kerikil yang di dalam kantong ini berwarna hitam, berarti kerikil yang jatuh tadi berwarna putih. Sebaliknya, kalau kerikil yang tersisa di dalam kantong ini berwarna putih, berarti kerikil yang jatuh tadi berwarna hitam. Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka sejak saat ini, saya menjadi milik Bapak”, katanya sedikit menantang.
            Ya, tentu saja kerikil yang tersisa di dalam kantong itu berwarna hitam. Artinya, kerikil yang jatuh tadi berwarna “putih” bukan?


KASUS 2.
Menentukan bagian pesawat yang harus diperkuat dengan plat baja

            Konon, pada saat sedang berkecamuknya perang dunia kedua, Amerika banyak sekali kehilangan pesawat terbangnya karena ditembak jatuh oleh musuh. Diputuskan, bahwa badan pesawat harus diperkuat dengan plat baja. Problemnya, kalau seluruh badan pesawat dilapisi plat baja, maka beban pesawat menjadi terlalu berat. Oleh karena itu, hanya bagian tertentu yang paling rawan sajalah yang diperkuat dengan plat baja. Untuk menentukan bagian badan pesawat yang akan diperkuat tersebut, diundanglah seorang pakar statistika.
            Mulailah si pakar statistik itu bekerja. Dia membagi tubuh pesawat menjadi 4 bagian, yaitu bagian depan, lambung, ekor dan sayap. Setiap pesawat yang kembali ke pangkalan setelah bertempur, dihitungnya jumlah lubang pada tubuh pesawat yang diakibatkan oleh peluru musuh. Setelah kira-kira seminggu lamanya si ahli statistika itu mencatat data itu, diketahui bahwa:
a.   Rata-rata pesawat yang selamat kembali kepangkalan 60–70%
b.   Dari jumlah yang selamat itu, 95% babak belur pada bagian sayap, lambung, dan ekor, sedangkan sisanya (5%) babak belur pada bagian depan pesawat
Artinya, peluang tertembaknya bagian depan pesawat itu sangat kecil bukan?
            Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut, si ahli statistika itu lalu mengajukan rekomendasi teknis kepada Departemen Pertahanan. Dia menyatakan: “Bagian pesawat yang sebaiknya diperkuat dengan plat baja adalah bagian depan”.
            Anehnya, kementerian pertahanan Amerika tidak heran dengan kesimpulan dan rekomendasi si ahli statistika itu. Bahkan pihak departemen langsung menyetujui rekomendasi itu. Dan Amerika pun memperoleh kemenangannya.
            Bagi kita tentunya aneh, kok bagian yang paling sedikit peluangnya terkena peluru justru yang harus diperkuat?.
Tentu saja kementerian pertahanan Amerika itu tidak heran, karena mereka sudah diberi tahu alasannya oleh si ahli statistika tadi. Sedangkan Anda kan belum saya beri tahu alasannya!? Cobalah berpikir terbalik, dan Anda akan menemukan alasannya.

Kamis, 09 Februari 2012

05 - STATUS PIKIRAN: Berpikir yang seharusnya



Ketika tujuan telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas sudah tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju tujuan?
…masih ada satu hal yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu
…berpikir yang berpikir adalah hanya seba­gian dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada saat kita berpikir, sesungguh­nya disitu tengah berlangsung pula aktivitas qalbu dan (fisiologi) tubuh
            Dari segi ilmu tubuh manusia, khususnya kedokteran, fungsi pikiran, dalam hal ini otak, telah banyak diketahui, yakni sumber penggerak organ tubuh, baik yang kita gerakkan secara sadar (berjalan, berbicara, mendengar, dst.) maupun yang bergerak secara tidak sadar (detak jantung, kedipan mata, gerak reflek, dst.). Namun sebenarnya fungsi otak itu sendiri masih diliputi oleh banyak misteri. Benarkah otak, atau pikiran yang membuat kita bergerak? Pertanyaan ini makin penting terutama untuk “gerakan” atau keputusan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikan, otakkah yang menyuruh kita “bergerak” marah, misalnya? Cobalah pikirkan, kalau Anda dicubit tentu sakit bukan? Lalu, rasa sakit itu apa? Dapatkah pikiran kita menjelaskannya?
            Ketika tujuan telah ditetapkan, seluruh perencanaan sudah matang, dana dan fasilitas sudah tersedia cukup, masih adakah yang kita perlukan agar kita bergerak menuju tujuan? Ini juga misteri. “Tidakkah Anda memikirkannya?”, kata kitab suci. Maka ijinkanlah saya meloncat langsung kepada jawabannya, “Ya, masih ada satu hal yang kita perlukan. Yaitu kemauan atau ketetapan qalbu”. Saya katakan “meloncat” karena  saya tidak bisa membuktikan logikanya. Singkat kata, gerakan manusia berlangsung melalui proses: qalbu ® pikiran ® anggota badan. Dari sinilah kemudian saya sampai kepada ungkapan-ungkapan keraguan saya terhadap kinerja pikiran Anda: “Saya tidak yakin apakah ada di antara Anda yang benar-benar-benar bisa berpikir …….”.
Di sinilah letak persoalannya! Jadi, patut kita sadari, bahwa berpikir yang berpikir adalah tidak meninggalkan qalbu. Berpikir yang berpikir hanyalah sebagian dari satu proses yang rumit.
Sayangnya, qalbu hari ini, laksana anak tiri yang kita kucilkan di sudut-sudut kesadaran kita. Apa akibatnya? Mari saya kiaskan, misalnya qalbu itu Anda, pikiran dan tubuh adalah anggota keluarga Anda yang lain. Cobalah Anda rasakan, Anda itu ada, tetapi dianggap tidak ada atau dikucilkan oleh kedua anggota keluarga yang lain. Pastilah, cepat atau lambat, Anda akan membina diri menjadi perongrong bukan? Ya, qalbu itu tidak bisa ditiadakan. Ia adalah sesuatu yang bebas. Ia pula yang menampung persaksian ketika ruh ditiupkan ke dalam tubuh: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, firman Tuhan. Sang ruh menjawab: “Ya, aku bersaksi, Engkau Tuhanku”.
            Persoalan ini memang agak rumit, sehingga saya tidak begitu yakin apakah saya telah berhasil menjelaskannya dengan benar!? Saya harap, sekurangnya Anda sepakat dengan saya, bahwa qalbu atau ruh itu ada, disamping pikiran dan tubuh kita.
            Saya ingin menekankan sekali lagi, bahwa berpikir yang berpikir adalah hanya seba­gian dari aktivitas kita. Dengan kata lain, pada saat kita berpikir, sesungguhnya disitu tengah berlangsung pula aktivitas qalbu dan (fisiologi) tubuh. Maka membina atau mengasah pikiran, haruslah berarti mengasah qalbu pula. Mengasah pikiran dapat membuat “pandangan” kita menjadi tajam, dan mengasah qalbu dapat membuat “pandangan” kita menjadi peka[1]. Inilah sosok paripurna yang saya dambakan lahir dari salah seorang atau banyak orang di antara kita. Sosok yang bermental juara. Bukan sosok yang bermental pengemis, rendah diri dan tak berkarakter. Ya, kita memerlukan orang yang tajam dan peka sekaligus. Di lingkungan kita sudah terlalu banyak orang yang tajam pikirannya, tetapi tidak peka qalbunya. Maka kacaulah segala urusan. Dan hilanglah manfaat dari ilmu yang dimilikinya[2].
            Sekarang mari kita coba lihat bagaimana qalbu, pikiran dan tubuh kita berhubungan dan bekerja sama dalam membentuk perilaku kita (Gambar 1).



Saya anggap bahwa Gambar 1 telah secara jelas melukiskan bagaimana proses terbentuk­nya ekspresi perilaku manusia. Beberapa catatan masih perlu saya tambahkan dari gambar di atas, yaitu:
1.   Apa yang kita sebut qalbu pada umumnya tidak diakui sebagai pembentuk awal sebuah ekspresi atau kinerja perilaku kita. Sekurang-kurangnya, jarang sekali orang menyebut demikian. Qalbu selalu hanya dikaitkan dengan kegiatan pengajian agama di mushollah, surau atau masjid, dan tidak di lingkungan kerja yang memerlukan aktivitas pikiran dan/atau tubuh. Saya harap Anda sependapat dengan saya, bahwa inilah kesalah-pandangan yang paling fatal.
2.   Qalbu adalah bagian yang paling merdeka, bebas, tidak bisa dibentuk oleh apa pun, tetapi ia bisa disugesti (disarankan) oleh unsur di luarnya. Oleh karena itulah, ketika Anda melakukan hal yang melanggar moral misalnya, meskipun Anda berhasil mengajukan justifikasi yang paling rasional sekalipun, qalbu Anda mungkin akan tertidur, akan tetapi ia tetap meronta-ronta sambil berbisik: “Anda salah. Anda salah. Anda salah”. Memang bisikan itu bisa keras, tetapi juga bisa sangat halus. “Manusia menyaksikan sendiri kemungkaran­nya”, kata Al-Qur’an. Ya, manusia “menyaksikan” sendiri bisikan qalbunya. Dan manusia tak menghiraukannya.
3.   Dari gambar itu pula dilukiskan, bahwa pandangan konvensional, tidak akan membawa kita ke mana ke mana. Kita hanya akan berputar-putar tanpa kemajuan, tanpa hasil. Ya, karena kita terjebak di dalam lingkaran dunia alias lingkaran syetan. Sekarang Anda dapat membayangkan, apa artinya penjiplakan yang kita lakukan selama ini. Ya, berpusar di lingkaran syetan
4.   Pusaran yang baik adalah pusaran revolusi dan evolusi sekaligus, seperti halnya jagad raya berpusar. Begitu seterusnya, sehingga hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Seandainya hari ini sama saja dengan hari kemarin, sesungguhnya manusia sudah dalam keadaan merugi. Ya, tentu saja, pusaran jagad raya itu pun masih tetap mempunyai ciri terbatas. Ingatlah, bahwa segala pusaran makhluk dibatasi oleh Kemaha Besaran Sang Khalik
5.   Tak ada syarat lain dari pusaran ideal itu kecuali Petunjuk-Nya
6.   Dan oleh karena itu, satu-satunya saran dari tulisan ini adalah: KEMBALILAH KEPADA AGAMA (agama dalam arti luas) secara menyeluruh (kaffah). Tidak peduli apakah agama Anda itu atheisme, materialisme, rasionalisme, atau apa pun juga. Tidak penting apakah tuhan Anda itu nafsu, syetan gundul, demit gentayangan, iblis, atau tuhan bikinan pikiran Anda, ataukah Tuhan yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW. Selagi Anda kaffah, Anda akan memperoleh apa yang Anda idamkan. Maha Suci Dia, betapa Dia tidak pilih kasih, tidak seperti kita[3]. Bahkan orang yang durhaka sekalipun akan diloloskan keinginannya, karena “Agama-Ku ini untuk seluruh umat manusia”, firman-Nya. Kalau tidak demikian, kalau tidak kaffah, selamanya kita akan tetap pandai tetapi bodoh sekaligus, sholat tetapi korup, pekerja dan pemalas sekaligus, murah senyum tetapi jahat, sedikit karya banyak tuntutan. Tentu saja akan ada bedanya antara beragama bikinan nafsu kita sendiri dengan beragama bikinan Tuhan.

Disamping keterangan di atas, ada satu gejala yang akan lebih mudah dipahami kalau kita menggunakan model dalam peristiwa kimia sebagai berikut:
Q + P + T ¬¾® E, kemudian E + S ¾® H,
Dimana Q=qalbu, P=pikiran, T=tubuh, E=ekspresi, S=sarana, H=hasil.

7.   Jadi, Q + P + T menghasilkan E (karakter/kinerja). Atau bisa dibalik, E menggambarkan orang macam apakah gerangan yang menghasilkan E itu. Keterangan ini sejalan dengan tanda anak panah bolak-balik. Perhatikan persamaan kimia kedua yang menggunakan anak panah hanya satu arah. Kalau E + S akan menghasilkan H, tetapi H itu sendiri tetap hanya menggambarkan E dan bukan E + S.
8.   Ya, H adalah gambaran karakter E (personal/teamwork). Dalam keseharian pun kita mem­benarkan pernyataan bukan? Jelasnya, kalau seseorang itu menemukan teknologi misalnya, kita katakan, “Dia berprestasi”, dan bukan, “Dia dan alat-bahannya (sarana) berprestasi”.  Maka dua persamaan di atas dapat disubstitusikan dan disederhanakan menjadi: Q + P ¬¾® H. Ya, H menggambarkan apakah manusia yang menghasilkan H itu waras pikirannya dan sehat kalbunya!
9.  Dalam peristiwa kimia kita juga mengenal gejala terbentuknya residu (R), yaitu bagian yang hilang atau keluar dari sistem persamaan (Gambar 2).

Gambar 2. Gejala pembentukan residu dalam proses kimia mental dan aktivitas manusia

10. Adalah normal (Gambar 2–A), bahwa pada setiap aktivitas kita menghasilkan residu, yaitu hal-hal yang tidak diharapkan. Residu normal dimaksud adalah residu yang bisa ditolerir terutama jika residu itu tidak terlalu merusak, dan kalau merusak dapat segera diperbaiki. Kadang-kadang residu itu justru merupakan salah satu hal yang diharapkan. Misalnya saja adanya kritik pada suatu luaran yang kita hasilkan. Kita juga mengenal adanya residu yang justru diharapkan dalam statistika (e=eror=sisaan)
11. Perhatikan Gambar 2-B, ada gejala dimana sejak awal Q yang terlibat dalam proses adalah residu (Q’). Dengan sendirinya, biasanya P-nya pun residu (P’). Maka yang dihasilkan sudah tentu residu juga (H’), selain residu “normal” yang selalu akan dihasilkan oleh sebuah proses (R’)
12. Saya ingin memberikan contoh aktual mengenai Gambar 2-B, tetapi saya harap Anda siap mendengarkannya. Begini, saya pikir, kita ini selalu saja gagal sejak awal, sejak diskusi akan dimulai. Mengapa, karena qalbu yang kita bawa ke dalam forum diskusi adalah bagian residunya. Dengan sendirinya, pemikiran yang diajukan pun residu pula. Hasilnya? Ya residu!.
13. Saya menangis (tanpa suara), sesak dada saya, ketika residu H’ itu benar-benar makin men­colok mata. Saya tahu persis, ada di antara publikasi hasil penelitian kita yang hanya berkualitas residu ilmiah, alias sampah ilmiah (H’). Setelah ditelusuri ternyata penulisnya mengajukan alasan rasional yang residual pula (P’=umur fungsionalnya kritis, katanya). Maka ijinkan saya menyitir istilah Bapak Dr. Hidajat Nataatmadja, bahwa perilaku yang demikian pantas disebut PROSTITUSI ILMIAH (Q’). Di lingkungan Badan Litbang gejala prostitusi itu sebenarnya sudah pernah disinyalir. Tetapi itu semua, secara sosiologis, adalah kehendak kita bersama (kehendak kita bersama!). Ya, kitalah residu itu, saya dan Anda semua. Dan syetan pun tertawa.
14. Kalau saya bilang residual, maka tentu ada yang substansial. Berikut ini saya ajukan model graduasi substansi dari kinerja piranti yang kita punya (Gambar 3).


Saya harap Gambar 3 sudah cukup melukiskan unsur-unsur substansial yang kemudian menga­lami degradasi sehingga menjadi residual. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hal yang saya anggap penting.
a.   Pada hakikatnya, sejak awal manusia itu menyaksikan Tuhannya ketika di alam rahim. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. “Ya, kami bersaksi, Engkau Tuhanku”, jawab kita (Al-A’raf 172). Penyaksian inilah yang akan mengantarkan manusia ke jalan yang lurus, jalannya para ulama, para orang berilmu. Dalam pengertian tertentu, Anda peneliti dapat juga disebut ulama. Sekurangnya sebagai ulamanya teknologi. Seperti ulama agama yang mengabdi kepada kemanusiaan, yaitu mengagamakan manusia, ulamanya teknologi seharusnya juga mengabdi kepada kemanusiaan. Ya, peneliti itu (kalau Anda belum tahu) pada hakikatnya mengabdi kepada manusiaan. Hanya karena alasan praktis saja kita mencukupkan diri pada batas nasionalisme. Sayangnya, justru sekarang kita dihadapkan kepada racun pahit yang akan menggiring kita menjadi semakin eksklusif, makin egois, individualis, yaitu dengan dikembangkannya paten[4]
b.   Marilah kita kembali ke pokok masalah. Membicarakan perihal ulama, saya jadi teringat dengan teman-teman peneliti yunior. Saya pernah bilang, “Anda adalah manusia biasa seutuhnya yang mempunyai tubuh, pikiran dan kalbu/hati, yang masing-masing mempunyai tuntutan kebutuhannya. Tuntutan kebutuhan yang wajar maupun yang dipaksakan, sering mereduksi keutuhan Anda sebagai manusia menjadi sekadar tubuh dan pikiran, bahkan kadang lebih sempit lagi. Dari reduksi itu terciptalah sosok yang bodoh dan pengecut seperti Anda (barangkali). Bukan bodoh dalam menghafal (menghafal!) referensi dan  juga bukan pengecut dalam urusan mencari nafkah. Bukan! Anda bodoh karena Anda lalai untuk membina kalbu Anda, kepekaan Anda untuk merasakan krisis dan kelemahan Anda”[5]
c.   Penyaksian Tuhan itulah yang akan melahirkan kreativitas. Beberapa keterangan menye­but­kan, bahwa kreasi itu muncul saat bersatunya objek dengan subjek. Ya, kreasi itu lahir saat kita “menyaksikan Sang Maha Kreatif”, saat mana dapat dikiaskan sebagai bertemunya objek (manusia) dengan tuhannya (Maha Subjek).
d.   Peniruan dan penjiplakan (D dan E) yang selama ini kita lakukan, tidak lain karena kita kufur atau bahkan menyekutukan-Nya. Maka wajar kalau kinerja tubuh (fisik) kita dapat dikategorikan malas, atau kelihatan bekerja, tetapi sesungguhnya tidak bekerja. Dengan alasan itulah saya pernah bertanya: “Ketika Anda bekerja, dapatkah Anda membedakan, apakah Anda sedang membangun ataukah sedang memupuk kehancuran?”.
e.   Menurut saya, kita wajib membina diri sehingga sekurangnya masuk ke dalam kategori C (qalbu=beriman, pikiran=memodifikasi, tubuh=bekerja pasif, semata karena disuruh, tanpa inisiatif). Meskipun tetap akan saya katakan, bahwa kita memerlukan lebih dari itu.
f.    Suasana yang kita bina bersama selama ini, bagi saya merupakan petunjuk yang sangat kuat bahwa ada yang tidak beres dengan qalbu kita. Maka kita tidak akan pernah ke mana-mana, tetap saja berkutat menangisi nasib, menjiplak, meniru, berebut tulang, dan tentu saja dengan sedikit rasa puas karena dapat melayani tuhan-tuhan bikinan pikiran kita. Ya, kita telah berhasil menciptakan NERAKA untuk diri kita sendiri. Naudzubillah.
g.   Maka seluruh buku yang Anda baca, hanya akan menjadi memori, barang hafalan belaka, tanpa membawa kemaslahatan. Dengan demikian dapat saya katakan, membaca adalah penyakit pikiran, dan menghafal adalah residu pikiran.

Setiap kali membicarakan suasana di lingkungan kita, saya memang cenderung ngelantur ke mana-mana. Betapa sulitnya mengajak Anda semua memasuki surga dunia dan menyongsong surga akhirat. Ya, karena saya tidak ingin masuk surga sendirian. Bagaimana tidak sulit, wong Anda menyak­sikan sendiri kok kemungkaran yang Anda lakukan (kata Al-Qur’an). Ini ngelantur lagi!? Baiklah kita cukupkan sekian saja bagian ini.


[1]     Peka bukan dalam arti mudah tersinggung, melainkan peka terhadap ilham dan PetunjukNya
[2]     Saya curiga, jangan-jangan yang ada dalam pikiran Anda itu bukan ilmu, tetapi sekadar hafalan. Sebab yang namanya ilmu itu biasanya digambarkan berada dalam qalbu. Kalau begitu wajar, banyaknya sarjana tidak membawa manfaat secuil pun, tidak berkorelasi dengan pemajuan. Bahkan justru menjadi salah satu sumber persoalan. Ya, ilmu yang Anda bawa itu sekarang berubah menjadi residu ilmu yang tersangkut di dalam benak Anda.
[3]     Dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa siapa yang yang menginginkan dunia, dia akan diberi. Siapa yang menginginkan akhirat dia akan diberi….
  [4]   Saya termasuk salah seorang dari segelintir orang (mungkin) yang tidak setuju dengan hak paten yang Yahudian itu.
[5]     Dicuplik dari surat saya kepada rekan-rekan peneliti yunior yang sedang dan akan melaksanakan tugas belajar (25 Juni 1999)